KEMISKINAN DAN SIKAP MENTAL
Pendahuluan
Berbicara kemiskinan
dalam benak kita selalu berasumsi pada permasalahan ekonomi semata, pemikiran
tersebut boleh dibenarkan namun akan lebih bermakna dalam memahami kemiskinan
apabila kita mau membuka pemikiran kira dalam kerangka yang bersifat lebih
multisidensional. Artinya memahami kemiskinan dengan melihat berbagai macam
atau sudut pandang yang cukup luas, seperti budaya, social, politik, asset atau
kepemilikan dan ekonomi itu sendiri.
Permasalahan yang
timbul akibat kemiskinan dapat berupa, salahnya meletakkan system ekonomi dan
politik suatu bangsa, sehingga masyarakat lebih menjadi miskin akibat Kebijakan
ekonomi dan Kebijakan politik yang kurang menguntungkan pada mereka, sehinga
mereka tidak memiliki akses yang memadai guna mengisi kehidupannya secara
layak. Disisi lain dapat pula akibat dari perilaku atau kebiasaan masyarakat
itu sendiri yang kurang dapat memanfaatkan kemampuan dirinya atau memanfaatkan
lingkungan yang ada.
Kondisi tersebut
diatas, tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan memperparah
kondisi masyarakat miskin seperti; melemahnya etos kerja, rendahnya perlawanan
terhadap berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk
yang mendorong mereka melakukan jalan pintas guna mempertahankan hidup.
Disisi lain
upaya-upaya memerangi kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk
meningkatkan penghasilan masyarakat miskin dan mengurangi pengangguran melalui
berbagai program seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb.
Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin
tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar
yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-mampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan
(ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan meningkatkan
penghasilan dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Peningkatan
penghasilan dan menciptakan lapangan kerja disini seolah-olah menjadi obat
mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal persoalan kemiskinan
justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat
kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan
akibat dari suatu situasi yang terjadi sehingga menyebabkan sebagian masyarakat
tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup
mereka secara layak.
________
* R. Permadi Mulajaya
Teori Kemiskinan
Kemiskinan, adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sebagian besar atau seluruh anggota masyarakat (penduduknya) berada pada standar
hidup yang rendah. Pada kajian ini standar hidup rendah yang digolongkan
sebagai penduduk miskin di Indonesia dikonotasikan sebagai rumahtangga penduduk
yang tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Standar hidup yang rendah
(Todaro, 1989), dimanifestasikan secara kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk
pendapatan yang rendah (kemiskinan), perumahan yang kurang layak, kesehatan
yang buruk, sedikit atau tidak berpendidikan, angka kematian yang tinggi,
harapan hidup dan mendapatkan pekerjaan yang rendah dan dalam banyak hal mereka
berada dalam keadaan yang sulit dan tidak mempunyai harapan sama sekali.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai
suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan
absolut. Sejalan dengan konsep absolut ini, maka Bank Dunia mendefiniskan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan suatu individu untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya. Walaupun secara sepintas ada perbedaan paham tentang definisi
kemiskinan, tetapi jika dilihat hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka
kesimpulannya bahwa kedua konsep kemiskinan tersebut tidak dapat dipisahkan.
Jika dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan,
maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian
kekayaan terkecil. Karena itu, golongan yang lemah ini akan menjadi miskin.
Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan
mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam
masyarakat tersebut. Jadi sesungguhnya secara langsung terdapat hubungan sebab
akibat antara masyarakat yang lemah (secara relatif) dan yang miskin secara
absolut ini.
Pemahaman mengenai kemiskinan yang
berkembang akhir-akhir
ini tidak hanya mengacu pada soal ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar karena rendahnya pendapatan tetapi juga mempertimbangkan dimensi lain dari kebutuhan
manusia yang menyangkut aspek-aspek
sosial dan moral. Pengertian kemiskinan menjadi multidimensional,
kompleks, dan dinamis ( Narayan, Deepa, 2002
: 32 ).
Definisi kemiskinan berdasarkan
hasil rumusan konferensi dunia untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen sebagai berikut : “Kemiskinan mempunyai wujud yang
majemuk, termasuk rendahnya pendapatan, dan sumber daya produktif yang menjamin
kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat
kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan, dan
layanan-layanan pokok lainnya. Kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit
yang terus meningkat,kehidupan bergelandang,
dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta
diskriminasi dan keterasingan sosial.
Kemiskinan juga dicirikan dengan rendahnya tingkat partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya ”(1995).
Rudolf S Sinaga dan Benyamin White (1980),
membedakan konsep kemiskinan menjadi dua, yaitu : (1) Kemiskinan alamiah (natural
poverty) adalah kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya
yang langka jumlahnya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang
sangat rendah. (2) Kemiskinan buatan (artificial poverty) lebih erat
hubungannya dengan perubahan-perubahan ekonomi, teknologi dan pembangunan itu
sendiri. Kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada
membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas-fasilitas secara merata.
Sementara itu Mukherjee ( 2000)
menyimpulkan bahwa orang miskin di Indonesia pada umumnya
dihinggapi oleh rasa ketidakberdayaan (powerlessness). Ciri-cirinya adalah
pertama, mereka tidak diikutkan dalam proses pengambilan keputusan pada
kegiatan yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Kedua, tidak ada
tempat bagi suara kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga,
orang miskin sangat tidak mempercayai institusi-institusi Negara.
Disisi lain menurut Daman Huri dkk; (2008:29-30) melihat dari beberapa
teori-teori klasik tentang kemiskinan, setidaknya ada tiga perspektif yang
berbeda dalam melihat kemiskinan. Pertama,
kemiskinan sebagai fenomena transendental. Seseorang menjadi
miskin adalah karena takdir Tuhan menghendaki demikian. Orang menjadi miskin
karena sudah ditakdirkan terlahir dari keluarga miskin, sedangkan untuk
mengubahnya manusia hanya diberi satu pilihan, yaitu berdoa memohon pada Tuhan
untuk mengubah nasibnya. Kedua,
kemiskinan sebagi fenomena sosial. Dalam perspektif ini orang miskin dilihat
sebagai akibat dari mentalitas orang yang bersangkutan. Orang menjadi miskin
karena malas, bodoh dan tidak mau bekerja keras atau tidak memiliki etos kerja
yang tinggi. Ketiga, kemiskinan struktural. Perspektif ini memandang kemiskinan
sebagai akibat dari struktur yang tidak memberi peluang kepada orang miskin
untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sehinga kemiskinan sebagai ciptaan
struktural, bukan karena mereka malas bekerja atau takdir yang menentukan
mereka demikian.
Oleh Moeljarto Tjokrowinoto dalam Ambar Teguh (2004;27) dikemukakan bahwa
kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata; tetapi kemiskinan menyangkut persoalan
kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan (power-less), tertutupnya akses kepada pelbagai peluang kerja,
menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka
ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan
terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari suatu generasi ke
generasi beriktunya.
Peter Townsend dalam Ambar Teguh (2004;32) membagi konsep kemiskinan
menjadi tiga yaitu Pertama,
kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick) berorientasi pada
kebutuhan pasar. Kedua, kemiskinan
relatif dirumuskan berdasarkan the idea
of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu,
yang berorientasi pada derajat kelayakan hidup suatu masyarakat tertentu. Ketiga, kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok
miskin itu sendiri.
Sajogyo menggunakan satuan kilogram
beras ekuivalen untuk menentukan kriteria batas garis kemiskinan penduduk,
yaitu 240 kg/orang/tahun, sehingga orang dikatakan miskin
apabila dalam satu tahun tidak mampu memenuhi konsumsinya paling tidak hingga
mencapai beras minimal tersebut. Berdasarkan kriteria ini, Sajogyo membedakan kemiskinan
masyarakat ke dalam beberapa kelompok:
a) Kelompok Sangat Miskin
Penduduk yang termasuk dalam kelompok
ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg
beras ekuivalen setiap orang dalam setahun untuk penduduk yang tinggal di
perdesaan, dan mereka yang berpenghasilan di bawah / setara dengan 360 kg beras
selama setahun untuk penduduk yang tinggal di perkotaan.
b) Kelompok Miskin
Penduduk yang termasuk dalam kelompok
ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 240 kg beras sampai
320 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di perdesaan, dan mereka
yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras sampai 480 kg beras per tahun
untuk penduduk yang tinggal di daerah perkotaan.
c) Kelompok Hampir Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok
ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 320 kg beras sampai
480 kg beras sampai 720 kg beras setiap orang dalam waktu setahun untuk
penduduk yang tinggal di perkotaan
d) Kelompok Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok
ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan lebih dari 480 kg
beras setiap orang selama setahun di daerah perdesaan, dan mereka yang
mempunyai penghasilan di atas setara 720 kg beras setiap orang selama setahun
untuk daerah perkotaan.
Secara konsepsi pekerja sosial mengkategorikan kemiskinan menjadi tiga
kategori, sesuai dengan tingkatannya yaitu: (1) kelompok sangat miskin sekali (destitute) dengan pandangan memiliki
pendapatan dibawah garis kemiskinan bahkan tidak punya pendapatan sama sekali
dan tidak pula memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial, (2) kelompok
miskin biasa (poor) dengan pandangan
memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan bahkan tidak punya pendapatan sama
sekali namun memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial, (3) kelompok
rentan atau near poor pandangan dari
kelompok ini sangat rentan terhadap perubahan sosial yang fluktuatif, sehinga
rentan berganti posisi dari dekat kemiskinan menjadi miskin yang sesungguhnya
(Suharto;2005:148-149).
Ted K. Bradshaw dalam Antonio PH dkk (2008; 14-15) menjelaskan mengapa
kemiskinan timbul (1) kelemahan-kelemahan individual; (2) sistem budaya yang
mendukung subkultur kemiskinan; (3) distorsi-distorsi ekonomi-politik atau diskriminasi sosial-ekonomi; (4) kesenjangan
kewilayahan, dan (5) asal-usul lingkungan yang bersifat kumulatif. Sementara
itu oleh Guy Standing dalam Antonio PH dkk (2008:15) memandang sebab-sebab
kemiskinan tidak sekedar berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan perkara
struktural yang disebutkan ”kerentanan ekonomi” (economic insecurity), yang
bersumber dari (1) risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian dan (2)
kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan untuk memulihkan diri (to recover).
Sebagaimana dikemukakan Izzadin Bakhit, et.all
(2001) dalam bukunya Attacking The Roots of Povety menyebutkan bahwa :
“Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat komplek”. Kemiskinan dapat
dipandang dari sudut mekanis sebagai rendahnya tingkat pendapatan. Akan tetapi,
pada perekonomian subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri) atau “perekonimian
afeksi” yang didasarkan pada solidaritas kekeluargaan atau keturunan,
tingkat pendapatan saja tidak dapat dijadikan ukuran kemiskinan yang sahih.
Lebih jauh lagi, kemiskinan dapat juga dipandang sebagai deprivasi dalam arti
rendahnya atau tidak memadainya akses kepada sumber daya atau karena hidup di
lingkungan alam yang semakin buruk atau rusak, serta ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok.
Apabila kita mengkaji "poverty profile" masyarakat, maka
akan terungkap bahwa masalah kemiskinan bukan saja masalah "welfare", akan tetapi mengandung
berbagai alasan.
Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan (vulnerability). Hal ini misalnya jika
pembangunan struktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan
petani dalam besaran yang memadai, akan tetapi jika saja terjadi kekeringan dua
tahun berturut-turut maka, akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai pada
titik yang terendah. Dari sini terlihat bahwa para petani masih hidup dalam
tahap subsistem..
Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai
peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi
peluang bagi mereka untuk berprestasi dalam proses produksi, atau mereka
terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif, yang menuntut kerja
keras dalam jam kerja yang panjang dengan imbalan yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya tawar menawar mereka dalam struktur hubungan
produksi. Kemiskinan dengan demikian, berarti hubungan dependensi kepada
pemilik tanah, rentenir, pimpinan proyek, kepala desa, dan sebagainya.
Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan
impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat dalam menentukan
keputusan yang menyangkut dirinya tanpa memberikan kesempatan untuk
mengaktualisasikan ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kematian, kekumuhan,
dan kekotoran.
Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau
sebagian besar penghasilan golongan miskin untuk konsumsi pangan dengan
kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat rendah
yang mengakibatkan produktivitas dan etos kerja mereka rendah pula. Di samping
itu juga akan menghasilkan ketahanan fisik yang juga rendah.
Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio
ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita.
Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat
kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetensi merebut peluang dan kesempatan di
masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah.
Keenam, kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan
sebagaimana disinggung diatas, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang
lain. Penghapusan "physical poverty"
tidak secara otomatis akan menghapuskan "culture of poverty". Budaya kemiskinan yang diwariskan secara
antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke
atas. Dan itu berarti menghambat kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa
depan.
Menurut Sunyoto Usman dalam Daman Huri
dkk (2008:80) dikemukakan ada 3(tiga) macam konsep kemiskinan, yaitu (1)
kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick) artinya berorientasi
pada kebutuhan dasar minimum anggota masyarakat ( sandang, papan dan pangan );
(2) kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relartive standard, yaitu memperhatikan dimensi tempat
dan waktu. Artinya kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan
kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu lain; dan (3) kemiskinan
subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Kelompok
yang menurut ukuran seseorang berada di garis bawah kemiskinan boleh jadi tidak
menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya.
Nurkse dalam Sukirno (2006;113)
menyatakan bahwa adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan, ketertinggalan,
kekurangan modal, adalah merupakan ciri dari masyarakat miskin yang akhirnya akan
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produksi mengakibatkan rendahnya
pendapatan yang diterima. Dan rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada
rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi akan berakibat pada
keterbelakangan dan seterusnya akan terjadi siklus seperti semula. Pemikiran
Nurkse ini lebih dikenal dengan Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious circle of poverty), maksud
dari teori ini adalah adanya serangkaian
kekuatan yang saling mempengaruhi, sehingga dapat menimbulkan keadaan,
dimana seseorang atau kelompok atau bahkan negara, akan tetap miskin dan tetap
akan mengalami banyak kesukaran dalam mencapai tingkat yang lebih tinggi.
Gambar : Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious circle of poverty)
Dimensi Kemiskinan
Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang
menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang
tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks,
sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per lokasi. Pola
kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan
negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi
kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di
bawah ini.
a) Dimensi 1 : Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan
muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
b) Dimensi 2 : Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan
(powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan
(dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)
c) Dimensi 3 : Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
d) Dimensi 4 : Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal
untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain :
·
kapital fisik (physical
capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja, hunian,
perhiasan, dsb
·
kapital manusia (human
capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan
yang buruk sering menghalang orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya
menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada
tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan
seseorang.
·
aset sosial (social
capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang
mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin
tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu
melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll
·
aset lingkungan
(environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat
berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan.
Secara rinci ke empat aset tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Aset fisik (physical
capital),
a)
Pada
dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang
diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai,
rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan
kerja dan benda-benda fisik lainnya
b)
Aset
kemanusiaan (human capital),
Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak
memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin
keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga
kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet,
jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social capital)
Masyarakat
miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada termasuk sistem
asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar
mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka,
asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib
sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan (environmental asset)
Pada umumnya
masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki
sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara
bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan
nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang
lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di
negara tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat
berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini
·
Kemiskinan absolut,
yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu
ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat
dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut.
·
Kemiskinan relatif,
yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok penghasilan dalam masyarakat.
Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut :
§ Kemiskinan menahun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau
sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis
atau terisolasi
§ Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola
siklus ekonomi secara keseluruhan
§ Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara
khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau petani
tanaman pangan
§ Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi
oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut
pandangan yang berbeda dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi
semua pihak sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang
sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai
keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk
menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup
beberapa dimensi sebagai berikut :
a) Dimensi politik
Tinjauan dari
aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam bentuk
rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan
keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya, tidak
dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat
secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki
akses ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan
hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya financial dan
sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin
partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan maka sering
kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki
struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin
seringkali secara juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali disebut juga sebagai
kemiskinan struktural.
b) Dimensi ekonomi
Tinjauan
kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang
untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan penghasilan yang
layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang terlihat dari
rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang
rendah, pakaian yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini
banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis kemiskinan.
Berbagai lembaga
memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan antara lain sebagai
berikut :
Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan dengan
mengukur pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori :
·
miskin di perkotaan 480
kg dan di perdesaan 320 kg
·
miskin sekali di
perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
·
paling miskin di perkotaan
270 kg dan perdesaan 180 kg
BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari
untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100
kalori per kapita per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan
pada tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan
di perdesaan.
c) Dimensi Aset
Tinjauan
kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan seseorang
yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang terhadap hal-hal
yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya
(basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan, pendidikan,
kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja,
sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb),
kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan,
pinjaman, dsb)
d) Dimensi budaya
dan psikologi
Dari dimensi
budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya budaya
kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat
komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin dalam
lembaga-lembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan
singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di
tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah
diri, kurang mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang
sering dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang
tinggi, dsb
Semua dimensi
tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi
karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi bagi
masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena kebanyakan
masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas garis kemiskinan memiliki
mata pencaharian yang sangat labil sehingga guncangan sedikit saja (krisis)
akan menyebabkan mereka terpuruk.
Kesimpulan
Bahwa kemiskinan bukan semata – mata hanya pada kurang modal dan tidak dimilikinya
ketrampilan akan tetapi disesabkan oleh banyak faktor. Di antara
berbagai penyebab kemiskinan penyebab yang utama atau sering disebut akar
masalahnya adalah sikap mental ( sikap dan perilaku) manusia, yang melunturkan
kebersamaan di antara mereka, atau merenggangnya solidaritas sosial.
No comments:
Post a Comment