Kekayaan Manusia
yang Terbesar
(Dari Kebahagiaan
yang Membebaskan, Gede Parma)
”Bagi setiap pejalan
kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur ’cukup’, segera
akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar” Seorang sahabat yang
mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor, pulang malam dalam kelelahan,
serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di kulit, kemudian bertanya, ”Untuk apa hidup
ini?” Ada juga orang yang sudah benar-benar telah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang tua,
dewasa mengungsi ke lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya
serupa. Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacammacam. Ada yang mencari
kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada
yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai mengorbankan hampir
segala-galanya. Dan tentu saja sudah menjadi hak masing-masing orang untuk
memilih
jalur
bagi diri sendiri.
Namun yang paling
banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau berlari memburu kekayaan (luar
maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual
sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambargambar hidup agar cepat
kaya. Sebagian malah mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan
menjadi kaya tentu menjadi sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan kaya materi
manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan kekayaan di dalam, manusia bisa
berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan soal jalur menjadi kaya mana
yang akan ditempuh,
pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang bijak dari Timur
pernah menganjurkan sebuah jalan: Contentment is the greatest wealth. Tentu agak unik
kedengarannya terutama di zaman yang serba penuh dengan hiruk-pikuk pencarian keluar.
Menyebut cukup, sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira dan
dituduh miring.
Ada yang mengira itu
menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh anti kemajuan, dan tentu saja tidak dilarang untuk
berpikir seperti ini. Cuman, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan
jauh di jalur-jalur “cukup”, segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan
manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi
bukan. Terutama hidup serta alam memang berputar mellaui hukum-hukum kerja. Sekaligus
memberikan pilihan-pilihan yang mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing – masing
sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup.
Dan ada yang berbeda
jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup.
Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya mengagumkan.
Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh dengan kemesraan. Tidak
saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan semua perwujudan Tuhan
manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian
manusia menemukan banyak kawan, di hutan yang paling sepi xeklaipun menemukan banyak
teman.
Dalam terang cahaya
pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekedar memaksa
diri agar lebih damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun
begitu merasa cukup nyaman ke sarang laba-laba kehidupan. Dimana semuanya
(manusia, binatang, tetumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari, dll) serba
terhubung sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah titik pusat.
Orang tua
mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencaharian kekayaan ke
luar yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang
menakutkan di pinggir roda. Namun di titik pusat, tidak ada putaran. Yang ada
hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi yang
belum pernah mencoba, apalagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati,
hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan. Hanya
keberanian untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal
memang kaya di luar sekligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan orang-orang yang mampu
mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di sisi
lain. Bila orang orang seperti ini berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama,
akan datang suatu waktu dimana bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun
pintar mengagumkan di dalamnya. Ini bisa terjadi, karena rasa cukup membawa
manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang lain.
Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia
yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam novel indahnya berjudul
Pergi Ke Mana Hati Membawamu. Ia kurang lebih menulis: ”Kata-kata ibarat sapu”.
Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana.
Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan
kata lain , pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis,
hanya menjernihkan sebagian, sekligus memperkotor di bagian lain (seperti
sapu). Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih
tanpa menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang
juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu karyanya yang mengagumkan
(Shambala, the Sacred Path of the Warrior) ia menulis:”This basic wisdom
of Shambala is that in
this worl, as it is, we can find a good and meaningful human life that will
also serve others. This
is richness”.
Itulah kekayaan yang mengagumkan, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya
(bukan yang seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan
bermakna buat pihak lain.
“Wabah Virus”
Ketidakjujuran
(dari: ”A Book of
Wisdom”, Tasirun Sulaiman)
“Dan manusia itu
ssungguhnya mencintai yang serba cepat”
(QS Al-Qayimah - 75
: 20 )
Susu dan Air
Seperti biasa
khalifah Umar r.a. keliling di malam hari untuk memerikas keadaan kaum
Muslimin. Ketika beliau sedang melintasi sebuah rumah seorang janda, tiba-tiba
harus menghentikan langkahnya. Sang Khalifah kemudian mengendap-endap dan
mendengar sebuah percakapan dari dalam rumah.
”Nak, campuri saja
susunya dengan air biar banyak,” kata sang ibu.
”Jangan bu, karena
khalifah Umar telah mengeluarkan peraturan, dan kita tidak boleh melanggarnya,”
jawab si anak.
” Tidak apa nak, kan
Khalifah Umar r.a tidak mengetahuinya,” timpal sang ibu.
”Benar bu, Khalifah
Umar tidak melihatnya, tapi Allah Swt, mengetahuinya”. Jawab si anak.
Percakapan mereka
malam itu membuat hati Khalifah Umar benar-benar terharu. Beliau selalu
memikirkan kejadian tersebut dan penasaran ingin mengetahui lebih jauh.
Karenanya,
keesokannya Khalifah Umar megutus pembantunya untuk menyelediki lebih detil
lagi keadaan penghuni rumah itu: Khalifah ingin tahu dan menegaskan siapakah
mereka itu sebenarnya?
Setelah menyelidiki
dan mendapatkan gambaran keluraga itu, akhirnya diketahui kalau sang ibu itu
adalah seorang janda dan anak putrinya adalah seorang gadis.
Khalifah Umar r.a.
kemudian memanggil putranya Ashim. Ketika Ashim mendekat, beliau berkata:
”Pergilah putraku, temui seorang gadis. Ayah mengenalnya ketika sedang
berkeliling. Nikahilah dia. Ayah berharap dia akan melahirkan seorang pahlawan
yang mau memimpin kejayaan Islam kelak”.
Ashim kemudian
menuju rumah gadis itu lalu melamarnya. Dari pernikahan itu lahirlah seorang
anak perempuan. Singkat cerita, anak perempuan itu kemudian dinikahi Abdul Aziz
bin Marwan dan dari pernikahan mereka lahir seorang anak laki-laki bernama Umar
bin Abdul Aziz, seorang Khalifah yang sangat harum namanya karena kejujuran dan
keadilannya.
”Bermain Api”
dengan ketidakjujuran
Masih perlukah sikap
jujur, di negeri dimana moral sudah tidak lagi bersendi? Moral sudah
berserak-serak?. Korupsi dimana-mana: dari birokrasi hingga lembaga perwakilan,
dari pusat sampai ke desa, dari pejabat tinggi sampai RT. Apakah tidak merugi
kita bersikap jujur?.
Kejujuran adalah
bawaan lahir manusia. Manusia betapapun rusak akhlaknya, tetap mencintai
kejujuran. Seorang penjahat sungguh tidak pernah menginginkan anaknya menjadi
penjahat. Seorang penipu tidak pernah terlintas dalam pikirannya agar anaknya
menjadi penipu juga. Bahkan seorang koruptor juga tidak ingin anaknya
melanjutkan karir sebagai koruptor.
Mereka yang tidak
jujur sebenarnya memiliki rasa bersalah. Mereka lantas menyalahkan keadaan:
blaming the others. Seperti menyalahkan punya anak banyak. Punya istri banyak.
Teman-temannya juga koruptor. Keadaan memaksa kalau tidak korup tidak akan
langgeng menduduki jabatan karena jabatan itu menjadi transaksi korupsi.
Kenapa korupsi
merajalela?. Karena moral dan kejujuran sudah tidak dibudayakan. Moral dan kejujuran
sebagai hiasan dan formalitas saja. Nama boleh diawali dengan Haji, KH, DR, SH,
apalagi gelar-gelar yang mencerminkan manusia berpendidikan dan mengerti apa
itu etika-kaidah benar dan salah-tapi kalau sudah berdekatan dengan masalah
uang, langsung meleleh. Berubah warna dan pudar.
Manusia juga
sesungguhnya menyukai cara-cara yang instan dan cepat untuk mencapai tujuannya.
Akhirnya, demi mencapai tujuan, cara apa pun bisa ditempuh. Apakah bertentangan
dengan moral dan ajaran agama, itu tidak penting lagi. Yang penting adalah
bagaimana saya mendapat keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo
sesingkat-singkatnya. Masalah orang lain menderita kerugian itu urusan lain.
Sekilas,
ketidakjujuran terlihat menguntungkan, tapi sesungguhnya ketidakjujuran justru
awal dari kejatuhan. Tidak saja kejatuhan moral dan integritas, tetapi
kajatuhan ruhani. Bahkan, bisa dikatakan kebangkrutan ruhani. Kalau terus
menerus tidak jujur, lama-lama dia akan hancur.
Jalan kejujuran itu
mirip dengan istilah jalan yang benar: jalan benar bukan berarti lurus seperti
jalan tol. Tapi bisa jadi jalan yang benar itu berkelok-kelok. Sementara itu
ketidakjujuran mirip dengan jalan pintas yang mengahantarkan seseorang tapi
membahayakan. Ketidakjujuran terlihat dari luarnya menguntungkan, tapi
sesungguhnya merugikan karena mengorbankan sesuatu yang paling berharga sebagai
mansuia: concience atau hati nurani. Orang yang tidak jujur selalu bertentangan
dan bertarung dengan dirinya. Oleh karenanya, dia tidak akan pernah merasakan kepuasan
dan kebahagiaan hidup.
Sekali seseorang
berlaku tidak jujur, maka dia juga akan melakukan hal yang sama untuk
kasuskausus lainnya. Jadi, ketidakjujuran ibarat bara api yang akan merembet
dan menghabiskan gulungan kayu, bahkan hutan. Susah dihentikan. Hati –hatilah
dengan perbuatan tidak jujur, meskihanya sekali.
Otoritas Alamiah dan
Moral
(dari: The 8th
Habit, Stephen R. Covey)
Apa itu otoritas
moral? Otoritas moral adalah pemanfaatan kebebasan dan kemampuan kita untuk
memilih berdasarkan suatu prinsip. Dengan kata lain, bila kita mengikuti
prinsip-prinsip dalam hubungan kita dengan sesama kita, kita seperti sedang
memasuki wilayah perizinan alam. Hukum alam (seperti gravitasi) dan
prinsip-prinsip (seperti rasa hormat, kejujuran, kebaikan, hati, integritas,
pelayanan dan keadilan) mengendalikan akibat dari pilihan-pilihan kita.
Sebagaimana anda mendapatkan udara dan air yang tercemar kalau anda terus
menerus bersikap tidak baik dan tidak jujur kepada orang lain. Dengan
pemnafaatan kebebasan dan kemampuan untuk memilih secara bijaksana, dan
didasari dengan prinsip-prinsip yang baik, orang yang rendah hati akan
memperolah otoritas moral terhadap orang-orang, budaya, organisasi, maupun
seluruh masyarakatnya.
Nilai adalah norma
sosial, yang bersifat personal, emosional, subyektif, dan dapat diperdebatkan.
Kita semua punya nilai-nilai. Bahkan kriminal pun punya nilai-nilai. Pertanyaan
yang harus anda ajukan terhadap diri sendiri adalah, apakah nilai-nilai anda
didasarkan atas prinsip?. Bila anda runut sampai ujungnya, anda akan menemukan
bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah hukum alam, yang bersifat impersonal,
faktual, objektif dan jelas dari sananya. Berbagai akibat atau konsekuensi
ditentukan oleh prinsip, perilaku ditentukan oleh nilai, karena itu hargailah
prinsip-prinsip itu!
Orang yang terobsesi
dengan ketenaran, adalah contoh dari mereka yang nilai-nilainya mungkin tidak
mengakar kuat pada prinsip. Popularitas membentuk pusat moral mereka. Dengan
kata lain, keinginan untuk tenar dan tetap tenar menghalalkan segala cara.
Mereka tidak tahu sebenarnya siapa mereka itu, dan tidak tahu ke mana
sebenarnya arah ”utara” yang benar. Mereka tidak tahu prinsip mana yang harus
diikuti, karena kehidupan mereka didasarkan pada nilai-nilai sosial. Mereka
tercabik karena tegangan antara kesadarannya akan tuntutan sosial dan kesadaran
diri mereka di satu pihak, dan hukum alam dan prinsip di pihak lain. Bila
sedang ada dalam pesawat terbang, keadaan seperti itu disebut vertigo. Dalam
keadaan itu, Anda kehilangan arah atau acuan ke darat (yang dalam hal ini
berarti prinsip) sehingga anda jadi benar-benar bingung dan tersesat. Banyak
orang yang menjalankan hidup mereka dengan semacam vertigo, atau kebingungan
moral. Anda menyaksikan mereka dalam kehidupan anda dan dalam budaya populer.
Mereka tidak mau bersusah payah untuk benar-benar memusatkan dan mendasarkan
nilai-nilai mereka pada prinsipprinsip yang abadi.
Karena itu, tugas
pokok kita adalah menentukan di mana ”utara yang sesungguhnya” dan kemudian
mengarahkan segalanya ke situ. Kalau tidak, anda akan hidup dengan berbagai
konsekuensi negatif yang pasti akan muncul. Sekali lagi, konsekuensi negatif
itu tak terelakan karena walau nilai mengendalikan tingkah laku, prinsiplah
yang mengendalikan tingkah laku itu. Otoritas moral menuntut pengorbanan atas
kepentingan egoistik berjangka pendek, dan keberanian untuk meletakkan
nilai-nilai sosial di bawah prinsip-prinsip. Dan nurani kita adalah gudang dari
prinsip-prinsip tersebut.
Nurani
Berupayalah untuk
mempertahankan percikan api ilahi yang disebut nurani itu tetap menyala
(George
Washington).
Banyak yang telah
dikatakan mengenai pentingnya nurani atau suara hati. Ada banyak sekali bukti yang
menunjukkan bahwa nurani-yaitu kesadaran moral kita, cahaya batin kita-merupakan
fenomena yang bersifat universal. Kodrat rohani dan kodrat moral manusia itu
terlepas dari agama, atau pendekatan agama, budaya, geografi, nasionalitas atau
ras tertentu. Kendati demikian, semua tradisi agama besar di dunia ini bertemu
di dalam prinsip atau nilai dasar tertentu.
Immanuel Kant
berkata, ”Saya selalu dibuat kagum oleh dua hal: langit berbintang-bintang di
atas kita, dan hukum moral di dalam diri kita.” Nurani adalah hukum moral di
dalam diri kita. Banyak orang yang percaya, demikina juga saya, bahwa nurani
adalah suara Tuhan kepada anak-anakNya. Orang lain mungkin saja tidak memiliki
keyakinan seperti ini, tetapi tetap mengakui adanya suatu pemahaman yang sudah
mereka bawa sejak lahir mengenai kejujuran dan keadilan, mengenai benar dan salah,
mengenai apa yang baik dan buruk, mengenai apa yang mendukung dan apa yang
mengganggu, mengenai apa yang memperindah dan apa yang merusak, mengenai apa
yang benar dan salah. Tentu saja, berbagai budaya yang berbeda menerjemahkan
pemahaman moral dasar ini dalam berbagai praktik dan istilah yang berbeda pula,
tetapi terjemahan yang berbedabeda itu tidak meniadakan pemahaman dasar
mengenai baik dan buruk.
Ketika bekerja di
antara bangsa-bangsa yang menganut beragam agama dan budaya, saya menyaksikan
penyingkapan nurani yang bersifat universal itu. Nurani itu sesungguhnya adalah
seperangkat nilai, suatu kesadaran mengenai keadilan, kejujuran, rasa hormat,
dan sumbangan yang mengatasi budaya-sesuatu yang abadi, yang mengatasi jaman,
dan tidak memerlukan bukti lain (self evident). Sekali lagi, hal itu sama
jelasnya dengan fakta bahwa kepercayaan menuntut sifat dapat dipercaya.
”Nurani rela
berkorban”-mengalahkan diri sendiri dan menundukkan ego demi tujuan, alasan
atau prinsip yang lebih tinggi. Pengorbanan itu sesungguhnya berarti melepaskan
sesuatu yang baik demi sesuatu yang lebih baik lagi. Kendati demikian dalam
benak orang yang melakukan pengorbanan, sesungguhnya tidak ada kerugian, dan
hanya si pengamat yang melihat hal itu sebagai pengorbanan.
Pengorbanan itu bisa
mengambil banyak bentuk, sebagaimana dia dapat menampakkan diri dalam empat
dimensi kehidupan kita: berkorban secara fisik dan ekonomis (tubuh); berupaya mengembangkan
pikiran yang terbuka, selalu ingin tahu; dan membersihkan diri dari bermacam prasangka
(pikiran); menunjukkan rasa hormat dan cinta mendalam terhadap sesama (hati); menundukkan
kehendak diri kita kepada kehendak yang lebih tinggi demi kebaikan yang lebih besar
(jiwa).
Nurani megajarkan
kepada kita bahwa tujuan dan cara mencapainya tidak terpisahkan, bahwa tujuan
sesungguhnya sudah ada sebelumnya dalam cara mencapainya. Immanuel Kant mengajarkan
bahwa cara yang digunakan untuk mencapai tujuan sama pentingnya dengan tujuan itu
sendiri. Machiavelli mengajarkan sebaliknya, tujuan membenarkan, dan karen itu
juga menghalalkan segala cara.
Nurani terus menerus
mengingatkan kita akan nilai-nilai dari tujuan maupun cara mencapainya, dan
bahwa keduanya tidak terpisahkan. Ego mengatakan kepada kita bahwa tujuan
membenarkan caranya, karena ego tidak sadar bahwa tujuan mulia tidak akan
pernah dapat diraih dengan cara yang tidak semestinya. Mungkin tampaknya anda
bisa mencapai tujuan mulia dengan cara yang tidak semestinya, tetapi akan ada
sekian banyak konsekuensi yang tidak diharapkan, yang sebelumnya tidak tampak
atau tidak jelas, yang pada akhirnya akan menghancurkan tujuan itu sendiri.
Misalnya, anda dapat meneriaki anak anda untuk membersihkan kamarnya. Bila
tujuan anda adalah ”kamarnya jadi bersih”, mungkin anda mencapai tujuan itu,
tapi ya hanya itu. Saya jamin, cara yang anda pakai itu tidak akan hanya
berpengaruh negatif terhadap hubungan anda dengan anak anda, tetapi kamar
mereka juga tidak akan tetap bersih bila anda ke luar kota beberapa hari saja.
Nurani secara lebih
mendalam merubah visi, disiplin dan gairah kita dengan cara memperkenalkan kita
dengan berbagai bentuk hubungan. Dia mendorong kita untuk berpindah dari
keadaan mandiri jadi saling tergantung. Ketika hal ini terjadi segala
sesuatunya jadi berubah, anda memahami bahwa visi dan nilai harus disebarkan
agar menjadi milik bersama, sebelum orang-orang bisa menerima menjadi disiplin
yang dilembagakan dalam struktur dan sistem yang mengemban nilainilai bersama
itu. Visi bersama itu akan menciptakan disiplin dan keteraturan tanpa
menuntutnya. Nurani sering menyediakan alasan (kenapa); visi mengidentifikasi
apa yang hendak dicapai; disiplin mewakili bagaimana anda mencapainya; dan
gairah mewakili kekuatan perasaan dibalik kenapa, apa dan bagaimana tadi.
Nurani mengubah
gairah menjadi belarasa atau welas asih (compassion). Dia membangkitkan perhatian
tulus kepada orang lain, suatu kombinasi antara simpati dan empati, sehingga
kita bisa merasakan penderitaan orang lain. Belarasa adalah perwujudan gairah
dalam keterkaitan kita dengan orang lain.
Bila kita berusaha
untuk hidup menurut nurani kita, nurani itu akan membangkitkan integritas dan ketenangan
pikiran. Seorang pastor projo kelahiran Jerman yang sekaligus juga pembicara
dan penulis yang membangkitkan motivasi, William J.H. Boetcker, pada awal abad
kedua puluh mengatakan, ”Bila anda akan mempertahankan rasa hormat anda
terhadap diri sendiri, lebih baik membuat orang lain tidak senang dengan
melakukan hal-hal yang anda ketahui salah.” Kehormatan dan integritas itu pada
gilirannya akan membuat orang yang memilikinya mampu menjadi baik hati sekaligus
berani. ” Baik hati dalam arti bahwa dia akan menunjukkan rasa hormat yang
mendalam terhadap orang lain, terhadap pandangan, perasaan, pengalaman, dan
keyakinan mereka”. Berani dalam arti bahwa mereka dapat mengemukakan keyakinan
mereka sendiri tanpa ancaman pribadi. Benturan di antara berbagai pendapat yang
berbeda bisa menghasilkan alternatif ketiga, yang lebih baik daripada gagasan
pertama yang muncul. Ini merupakan sinergi yang sesungguhnya, dimana keseluruhannya
lebih besar daripada jumlah total bagian-bagiannya.
Orang yang tidak
hidup dari nuraninya tidak akan mengalami integritas batiniah dan ketenangan
pikiran. Ego mereka akan terus berusaha mengendalikan hubungan dengan orang
lain. Kendati barangkali mereka bisa berpura-pura baik hati dan berempati,
mereka akan menggunakan manipulasi halus, bahkan bisa lebih jauh terlibat dalam
perilaku diktator, yang sepintas lalu kelihatan baik, tetapi sesungguhnya
tidak.
No comments:
Post a Comment