PEREMPUAN NIAS MENUJU SEBUAH PERADABAN
Oleh : Adelina R.Simatupang
Peradaban
dan menemukan peradaban selalu kata-kata
filosophi yang terlontar dari kaum seniman, pengamat sosial dan penulis
religius, namun dimanakah kita dapat menemukan peradaban. Ada yang mengatakan kalau sudah dapat membaca
dan menulis merupakan awal dari sebuah peradaban. Namun di bumi Indonesia
ternyata masih ada sebuah pulau yang masih jauh dari sebuah peradaban. Awalnya
saya menginjakkan kaki di Pulau Nias atau disebut Tano Niha pada tanggal 12 Februari 2005. Pulau ini merupakan bagian dari Sumatera Utara. Bersama dengan tim relawan dari
sebuah Non Government Organization
(NGO) untuk membantu masyarakat Nias yang terkena (dampak)? tsunami. Diawal perjalanan saya masih
merasakan indahnya pantai di Gunung Sitoli, birunya laut memberikan kesejukkan
senyum masih menghias di wajahku, walau rasa ingin tahu masih menghiasi wajahku??. Kami menempuh 4 jam perjalanan dari Gunung Sitoli ke Sirombu pada hal
jarak yang ditempuh hanya 70 Km. Jalan(an) yang rusak parah dan
berlobang membuat badanku terasa sakit. Hariku kuawali dengan duduk menatap
senja yang kemerahan, maklum aku sangat menyukai senja dan ternyata senja itu
ada disini. Bersama 4 orang teman saya! yang selalu saya! ingat dan menjadi teman saya mengawali
perjuangan. Mereka
pendidikannya bervariasi dari D3, SMA, SMP dan SD tetapi kami mampu bekerjasama. Pendidikan tidak menjadi hambatan untuk kami
berbuat sesuatu yang berarti untuk orang lain. Bahasa Nias yang masih asing
bagiku, membuatku harus belajar cepat karena mayoritas penduduk disini
menggunakan bahasa Nias. Dua orang teman saya
berasal dari Nias dari merekalah saya akhirnya dapat berbahasa Nias, dan
mulai berbaur dengan masyarakat. Walau bukan berlatar belakang dari kesehatan
atau dokter saya berusaha mempelajari masalah-masalah kesehatan di desa ini.
Berawal dari salah satu program yang kami akan lakukan adalah pemberantasan
penyakit malaria, mengingat kondisi Sirombu
di daerah rawa dan kebun karet, kami mengadakan sosialisasi ke masyarakat!?. Setiap harinya saya dengan tim saya turun kelapangan ke desa-desa untuk mensosialisasikan tentang
penyakit malaria, sambil mengadakan klinik keliling bersama dokter. Masyarakat
sudah tahu tentang Malaria, dan beberapa diantara mereka harus meninggal karena
penyakit malaria. Masyarakat menyambut gembira pengadaan klinik keliling dari
desa ke desa, namun masih terbatas hanya yang dapat dijangkau dengan kendaraan seperti mobil atau sepeda motor, namun jauh ke pedalaman daerah dusun
tidak dapat dijangkau karena dokter tidak bersedia berjalan kaki menembus hutan
karet dan naik bukit untuk menjangkau masyarakat di dusun pedalaaman pada hal
masyarakat sangat membutuhkan pelayanan tersebut. Saya dengan seorang rekan
saya tenaga lapangan mengambil keputusan untuk menjangkau masyarakat pedesaan
di dusun, menembus hutan karet, melewati sungai dan naik bukit. Setelah naik
motor selama 1,5 jam dan kami juga harus berjalan kaki selama 2 jam sekitar 10
km untuk memberikan sosialisasi dan pengadaan obat-obatan Malaria. Hingga tepat
pada tanggal 28 Maret 2005, seusai mengadakan perjalanan jauh dan selesai makan
malam dirumah kayu, kami berbincang tentang rencana kerja kami esok hari,
setelah selesai kami beranjak masuk kamar untuk tidur, tak lupa saya mengenakan
kaos kaki menahan dingin di kaki, dan mengucap salam doa pada Pencipta saya
sebelum tidur dan semoga esok dapat melihat cerahnya pagi. Usai saya berdoa,
tiba-tiba saya merasakan getaran yang kuat, rumah kami bergoncang, saya bingung
dan ternyata ada gempa saya berlari kebelakang, teman-teman saya menyusul, kami
panik dan takut hanya bisa berpegangan namun selalu jatuh, gelap gulita malam
itu, hanya bulan purnama yang ada. Kami mendengar jeritan tangis dari jauh,
setiap kali saya berdiri saya jatuh, rumah kayu kami berderik-derik dan
bergoyang ternyata malam itu telah terjadi gempa dengan kekuatan 8,7 skala
richter. Ketakutan masih tergambar diwajah kami, namun saya ingat saya berada
disini untuk menjalankan misi yang kami emban, saya meminta teman saya dokter
mengeluarkan mobil dan memasukkan obat-obatan dan alat medis , bahan makanan
seadanya, serta keperluan kami. Saya belum tahu kemana harus pergi karena
penduduk panik takut ada tsunami lagi. Kami berusaha keluar rumah dan di
jalanan kami bertemu penduduk yang panik karena air laut dari Sirombu mulai naik, saya meminta teman-teman saya satu tim memutar arah ke gunung tetapi tak ada jalan,
sebab jembatan patah dan jalan rusak. Malam itu sangat mencekam, gelap, saya
hanya dapat berbisik lirih memanggil Pencipta, karena banyak orang terluka,
ratap tangis dan doa di panjatkan walau dalam bahasa yang belum saya ngerti
tetapi saya tahu itu ratap permohonan. Saya mengeluarkan obat-obatan dan alat
medis meminta teman-teman saya dan dokter untuk berbuat sesuatu dan menolong
korban. Beberapa korban kami evakuasi dari reruntuhan rumah, ada yang kakinya
patah dan pingsan, saya tahu kami melakukan dengan gemetar dan takut Tak ada alat komunikasi yang dapat menghubungkan dengan dunia luar, kami
hanya berbuat dan semampu kami menolong korban, walau malam semakin pekat dan
gerimis jatuh membasahi hati kami dan penduduk saat itu. Esoknya pagi tiba
mentari cerah namun tak ada senyum diwajah yang kami temui, di tanah lapang
tetesua ratusan penduduk berkumpul tak ada makanan dan mereka diam, banyak yang
terluka, saya pulang kerumah kayu, rumah itu miring dan tidak roboh, namun
semua isinya porak-poranda. Kami mengambil semua bahan makanan dan
membagikannya ke penduduk dengan meminta camat membuat dapur umum, kemudian
kami melanjutkan pengobatan kepada korban. Sorenya kami putuskan untuk kami ke
Gunung Sitoli pusat kabupaten, untuk meminta pertolongan ke pemerintah atau
rumah sakit, kami sampai malam hari,
dengan susah payah karena jalanan rusak dan patah kami harus membayar
orang untuk membantu membuat jembatan darurat. Sesampai di Gunung Sitoli kami kaget karena gelap dan lampu
tidak menyala, kami melihat orang panik, beberapa orang berjalan menandu korban
terluka, sampai saat ini masih segar dalam ingatan saya dimana mayat-mayat
diangkut memakai beca barang. Ternyata kota Gunung Sitoli gelap gulita karena
gempa, rumah-rumah hancur dan bau amis dan mayat tercium ada 800 orang
meninggal malam itu karena Gempa di
Gunung Sitoli. Saya menuju kantor Bupati dan bertemu relawan-relawan dari organisasi lainnya. Namun masih belum ada
aksi menolong korban, kembali saya menegluarkan obat-obatan dan peralatan
tindakan untuk korban, saya dan teman-teman mengadakan pengobatan. Saya hanya diam
sambil bekerja membantu mengobati para korban, saya berfikir inikah esok yang
saya pinta dalam doa saya sebelum tidur dan sebelum gempa datang? Sejenak
kesibukan kami sosialisasi pencegahan dan pengobatan malaria tertinggal, kami
disibukkan mengobati korban bencana, tim relawan di organisasi kami ditambah
termasuk dokter dan perawat.
Kesibukan
mulai berkurang saya mulai konsentrasi kepada program dan rencana kami semula.
Suatu hari saya berjalan ke suatu desa bernama Bawazamaiwo, disana ada program
kami untuk anak-anak yaitu mengajar anak-anak pra sekolah dan pemberian gizi
tambahan, mengingat ibu mereka sibuk diladang dan tidak ada merawat mereka kami
memberikan play therapy. Saat itu saya lagi berdialog dengan seorang ibu sedang
hamil tua dan anaknya ikut program play
therapy, ia bertanya bagaimana mendapatkan layanan KB, karena di puskesmas
harus bayar Rp. 15.000 dan itupun jauh 20 km dari rumahnya tak ada
transportasi, saat ini ia hamil tua anak ke 5 pada hal usia anak bungsunya
belum genap 1 tahun, sedangkan ia sekarang hamil tua. Karena kemampuan ekonomi
terbatas saya menyarankan KB klender pada si Ibu secara jelas dan berulangkali
supaya ia paham. Dua hari kemudian saya datang lagi berkunjung ternyata si Ibu
tersebut sudah mau melahirkan, saya yang berada dilokasi bingung tak ada bidan
desa atau dukun beranak, karena suaminya berkata jika memanggil bidan desa
setidaknya membayar 150.000 dan dukun beranak 50.000, ia tidak punya uang. Saya
mencoba memberikan pertolongan dengan menjelaskan alat yang diperlukan seperti
air, atau pisau dapur yang steril untuk memotong tali pusar bayi sudah
disiapkan. Persalinan berjalan lancar, hanya didampingi suami sebagai penolong,
ibu tersebut memotong sendiri tali pusar bayinya, dan suaminya memandikannya.
Saya berfikir apakah semua perempuan Nias sekuat ibu tersebut? Bayi mungil itu
dibalut kain sarung usang diatas tikar pandan yang sobek, tak ada bantal, tak
ada gurita, kelambu bayi, dan bedak hanya lembaran kain sarung yang sudah usang
dan di gunting beberapa bagian sebagai
lampin si bayi mungil. Si ibu tidak dapat minum susu untuk menambah gizi saat
menyusui hanya makan dengan nasi dan ikan asin tanpa sayur. Ibu tersebut masih
berusaha menyusukan bayi perempuannya. Saya berfikir andai ibu itu dapat
merasakan pelayanan kesehatan yang baik dari posyandu mungkin air susunya tidak
kering karena ada gizi tambahan bagi ibu hamil. Saya meminta suaminya
mencarikan jantung pisang, daun singkong, kelapa dan membuat makanan seadanya
yang dapat dijadikan sayur untuk makanan si ibu sehabis melahirkan, dengan harapan
membantu air susunya dapat keluar hingga si bayi dapat minum ASI, karena uang
beli susu tidak ada. Setelah itu saya mendapatkan informasi seorang anak sakit
parah dan dibawa ke desa, keadaan cukup mencemaskan badanya kaku dan wajah
pucat, bibir membiru, suhu badan panas, saya tahu ternyata rumahnya jauh di
pondok di pedalaman kebun karet, dan saya bersama teman mencoba melakukan
tindakan tes malaria, dan anak tersebut positif malaria falcifarum yang
mematikan. Kami membawa ke klinik dan merawat inap, selanjutnya langkah yang
kami lakukan adalah mengujungi pondok, ada 6 Kepala keluarga disana, dari desa
menuju pondok mereka kami harus melewati hutan karet sejauh 8 Km berjalan kaki,
saya dan temna saya membawa tes pack malaria dan obat-obatan. Sepanjang jalan
kami tidak bertemu dengan penduduk namun saya tereksan ketika melihat ada rumah
papan kecil beratap rumbia, disana sudah tergelatk 4 orang anak. Si ibu hanya
diam menemani.. saya dan teman saya melakukan tindakan mengadakan tes dan
ternyata positif nalaria, kami memberikan informasi tentang penggunaan obat.
Selanjutnya berpindah ke pondok lain dan dari 4 kepala keluarga semua positif
malaria falcifarum. Saya hanya berfikir bagaimana cara menolong mereka dengan
lokasi yang jauh dari pusat desa dan ketidakadaan obat-obatan. Jangankan ke
puskesmas ke pusat desa saja mereka tak dapat berjalan. Namun saya berusaha
menolong bersama teman kami memberi pengobatan. Seorang ibu sedang hamil 7
bulan mengandung anak ke 9 positif malaria falcifarum, ia dan semua anaknya
kena malaria, yang kronis dirawat di klinik kami juga naknya. Ibu tersebut
pucat dan lemah, esoknya saya datang bersama teman saya membawa bekal makanan
berupa sup kering, yang memang disediakan untuk pasien. Kami mengajari ibu
tersebut dan anaknya memasak sup tersebut, karena bahan makanan mereka tidak
ada sama sekali karena mereka sakit tak dapat bekerja menyadap karet dan uang
mereka tidak ada. Sebesar mana upaya yang kami lakukan anaknya yang sempat
dirawat tidak dapat tertolong, tetapi 4 kepala keluarga yang positif malaria
falcifarum tertolong dan mereka sembuh. Saya merenung dengan sedih anak itu
meninggal tetapi ia telah menolong 4 Kepala keluarga lainnya terbebas dari
penyakit malaria yang mematikan. Ini menjadi cerita inspirasi jika saya sedang melakukan penyuluhan malaria
dan pelatihan kader malaria bahwa kita
perlu berjuang menjangkau penduduk untuk membantu mereka terhindar dari penyakit malaria yang mematikan. Ibu tersebut kehilangan anaknya karena
malaria falcifarum, namun bayi dalam kandunganya lahir dengan selamat. Saya
melihat ibu itu sangat kurus dan ketika saya bertanya ”ibu kenapa tidak KB?” ia
hanya menjawab ”la uila” (artinya ”tidak tahu” dalam bahasa Nias). Ibu tersebut
tidak pernah mengetahui tentang KB ia hanya tahu tugasnya melayani suami dan
melahirkan anak, sementara anak-anaknya terlantar dan kurang mendapat
perhatian. Anak-anaknya tidak ada yang tamat SD semua bekerja diladang membantu
orangtua. Adakah perempuan ini memiliki kesempatan untuk sebuah peradaban?
Merasakan dilayani dokter atau Bidan? Dapatkah ia merasakan seperti yang kita rasakan, dimana
dan kapan saja kita dapat membawa anak-anak kita kedokter dan memeriksakan
kandungan kapan saja kita mau tanpa harus menempuh jarak jauh dan berfikir
biaya sekali periksa adalah biaya hidup
untuk seminggu.
Perempuan Nias masih rentan dengan budaya
dan permasalahan sosial yang dihadapinya. Di desa Bitaya kecamatan Alasa,
merupakan salah satu desa tertinggal, di desa
saya mendampingi kelompok perempuan yang berjumlah sekitar 310 orang ibu
rumah tangga ditambah sekitar 50 orang anak gadis. Mereka tinggal di desa di balik gunung yang
tidak dapat dijangkau oleh kendaraan, baik sepeda motor
atau mobil. Setiap kali saya datang ke desa saya naik ojek selama 2 jam dari Gunung Sitoli dan berjalan kaki sejauh 7 Km dengan waktu 1,5 jam. Perjalanan kaki
tidak mulus karena curah hujan di Nias cukup tinggi sehingga lumpur sepinggang hal yang biasa dan mendaki
melintasi kebun karet, sungai dan persawahan. Pada umumnya pekerjaan perempuan
adalah menyadap karet dan bersawah. Dari jumlah perempuan ibu-ibu hanya 3 orang yang dapat berbahasa Indonesia
dan dapat baca tulis, selebihnya tidak ada. Bahkan disatu dusun semua tidak
tahu bahasa Indonesia. Desa Bitaya tidak memiliki sarana listrik. Setiap minggu
saya harus menginap dan tinggal bersama penduduk di Desa tersebut, tidur diatas
dipan dengan lantai tanah. Saya menjadi fasilitator desa dari salah satu LSM
lokal untuk program mata pencaharian (Livelihood), dengan harapan bahwa desa
Bitaya dapat memiliki perubahan di bidang pereknomian. Awalnya saya ke Desa ini
saya merasa kurang yakin saya dapat melakukan program ini berhubung
keterbatasan sarana dan saya selalu merasa lelah dan sering merasa sulit, namun
melihat motivasi kelompok ibu membuat saya terus mau datang untuk mendampingi
mereka. Saya mengandalkan seorang Ibu yang dapat berbahasa Indonesia tapi
terbatas dalam menulis, ibu tersebut menjadi community Organizer (CO) yang
dipilih dari desa, bersamanyalah saya bekerja untuk mengimplementasikan
program. Setiap ada pertemuan Ibu-ibu datang setelah mereka bekerja di ladang
menyadap karet dan dari sawah, pertemuan
baru dapat dilakukan setelah jam 2 siang. Penyuluhan-penyuluhan kami berikan,
dan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pengetahuan dalam bidang pertanian,
peternakan. Kami juga melatih para Ibu untuk
mengelola keuangan keluarga. Setiap ada pelatihan Ibu-ibu tersebut harus
berjalan kaki dari dusun menuju pusat desa sejauh 5 – 9 km dengan lelah baru
pulang dari sawah, tetapi semangat itu tetap ada. Kedatangan saya selalu
dinantikan oleh para masyarakat termasuk kaum bapak dan Ibu, sampai mereka
membangun satu buah kamar di dekat rumah kepala Desa agar saya tinggal dan
bermalam di desa sehingga banyak waktu bersama mereka. Saya bekerja tidak hanya
saat matahari ada, bahkan sampai larut malam para Ibu dan bapak selalu datang
menjumpai saya untuk berdiskusi dan bertanya apa saja yang dapat dilakukan
untuk membuat suatu kemajuan. Tak dapat dipungkiri oknum-oknum desa yang ingin
punya kepentingan sendiri sering menjadi hambatan, mereka menghasut masyarakat
dan mengatakan bahwa kehadiran kami adalah untuk menjajah. Namun usaha
komunikasi dan pendekatan tetap dilakukan, walau masih ada konflik dan
perbedaan tetapi penerimaan sudah mulai terlihat. Pemberdayaan perempuan
diawali dengan mengadakan penyuluhan
pada kelompok usaha, seperti kelompok petani, pedagang dan penyadap karet.
Penyuluhan ini kurang dapat melibatkan staf ahli karena berapa kali kami mengundang
staf ahli untuk mengadakan penyuluhan tidak datang, dengan alasan sibuk dan ada
acara mendadak. Namun alasan yang mendasar adalah ketidak relaan untuk berjalan
jauh dan tinggal bermalam di desa, karena perjalanan tak memungkinkan pulang
hari. Maka untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan di desa saya
memaksakan diri saya untuk belajar banyak tentang pertanian, ekonomi mikro dan
usaha kecil. Memang tidak maksimal namun saya punya
prinsip hal yang dasar sekalipun diberikan akan berarti jika dilakukan. Hari-hari saya lalui di Desa Bitaya
sangat mengesankan dan banyak para Ibu mulai memberikan perhatian untuk
menambah mata pencaharian, diawal mereka hanya fokus menyadap karet, dan kami
sudah mulai membuat polyback untuk menanam sayuran dan membuat apotik hidup.
Sudah mulai menanam padi secara serentak, lebih dahulu mengolah lahan karena
sebelumnya menanam padi tanpa pengolahan lahan tanah atau menanam padi sesuai
keinginan. Selanjutnya kami mengadakan pelatihan Credit Union (CU). CU ini
dibentuk dengan pengurusan di tingkat desa. Dipisahkan antara CU bapak-bapak
dan ibu-ibu. Para penduduk dibolehkan
meminjam modal dengan mengajukan lebih dahulu proposal usaha selanjutnya
diseleksi dan jika sesuai baru diberikan pinjaman modal. Adanya seleksi ini memicu semangat para ibu, ibu-ibu mulai
meminta suami dan anak mengajari baca tulis sehingga dapat mengikuti penyuluhan
dengan mudah. Setahun pengabdian di Desa Bitaya, memang terasa melelahkan namun
perjuangan ibu-ibu di desa telah membayar keringat saya, dan saya dapat melihat
ada peradaban di balik gunung, dimana ibu-ibu sudah mendapatkan pengetahuan dan
terlihat bahwa mereka sudah mandiri dengan memulai adanya pertemuan-pertemuan
didesa tanpa kehadiran saya. Mereka sudah mampu memimpin pertemuan, membuat
kesimpulan rapat, dan menjadi kader untuk mendukung ibu-ibu di desa.
Berbagai pelatihan telah dilaksanakan dan saat ini
mereka melakukan aktivitas berkelanjutan, berakhirnya program bukan berarti
berakhir pula pembangunan di desa tersebut, para ibu dan perempuan terus
berjuang untuk menuju sebuah peradaban yang mereka impikan.
Perjalanan
saya belum usai, tahun ini saya kembali ke Nias saya berada di wilayah Mandrehe Nias Barat, saya ingat saya pernah
mengadakan pendampingan dan saat itu saya kebelet mau buang air kecil, saya
mencari dan bertanya toilet atau WC dimana? Mereka berkata mereka tak memiliki
toilet atau wc, saya berjalan sekitar 1 km lagi dan bertanya ada WC? Jawab
mereka ada di sana saya mengikuti dan saya turun kearah lembah dan saya melihat
kubangan air dan ada tempat ditutupi goni, sedang jarak satu meter ada mata air
kecil yang banyak lumut dan seorang anak gadis mengambil air disana. Ternyata
air itu untuk minum dan mencuci sangat kotor karena hewan peliharaan juga
berada disekitarnya berkeliaran. Mereka sangat kesulitan air. Para ibu juga
harus berjalan 1 km sampai 3 km turun kelembah dari gunung atau mengambil air
disungai untuk keperluan sehari-hari. Para ibu yang sudah bekerja seharian di kebun karet menyadap karet, mengambil
makanan ternak, memasak dan mencuci dan mereka juga harus berjalan jauh
mengambil air dan mencuci keperluan keluarga. Jika musim kemarau maka mereka
tidak mendapatkan air mereka harus berjalan sekitar 7 Km ke induk sungai yang
di kenal Sungai Moro’o. Melakukan pekerjaan domestik dan semua mereka lewati.
Suatu hari saat saya dan organisasi saya
bekerja di program pengadaan sanitasi dan air bersih. Kami memulai dengan
penyuluhan dan penguatan masyarakat melalui pelatihan. Saya menjelaskan
bagaimana peranan dan fungsi air bersih untuk manusia. Saat itu mereka juga menunjukkan
air yang lebih tepat dikatakan kubangan karena berwarna cokelat susu tanah
galian diatas tanah liat sehingga berwarna keruh dan mereka menggunakan air itu
untuk masak dan cuci. Sangat tidak memungkinkan untuk syarat sebuah kesehatan
namun kenyataan disitulah mereka menggunakan air untuk kehidupan sehari-hari.
Bagaimana mungkin itu menjadi sebuah kenyataan yang harus dijalani, penyuluhan
sanitasi air bersih tentunya tidak menjadi satu-satunya pemecahan masalah air.
Kami melibatkan masyarakat mencari dan memanfaatkan sumber mata air yang bersih
dan sesuai syarat kesehatan. Masyarakat dengan semangat mendukung untuk
pembangunan melalui gotong royong dan partisipasi dan pendekatan yang klami
berikan membuat mereka memiliki kesempatan untuk menikmati air bersih. Bagi
kita yang tinggal di kota mungkin mengambil air bersih mudah cukup ke kamar
mandi memutar kran maka air hidup dan yang memiliki uang akan masuk keperadaban modern dapat
memilih kran air panas atau dingin, tetapi mereka penduduk di Mandrehe sering
dihadapkan kepada tidak ada pilihan, kalau musim hujan mereka hanya menggunakan
air hujan, dan saat musim kemarau mereka hanya mengandalkan sungai dan sumur
galian yang airnya berwarna coklat susu. Menyiasati warna air masyarakat sering
membuat kopi, teh atau pandan supaya
tidak bau dan warnanya tidak terlihat keruh. Para ibu dan anak perempuan yang
memiliki beban dalam ketidakadaan air ini, karena selain mereka harus menderes
karet mereka juga memelihara ternak babi, mencari bulu gobi (daun ubi) untuk
makanan babi, serta harus mengambil air dengan jarak yang jauh, menjinjing
dikepala sambil menggendong anak, setiap mau masak dan mencuci harus mengambil
jarak yang jauh. Setelah sarana air bersih ada penduduk juga punya kehidupan
yang biasa yaitu tidak adanya WC, dalam satu desa semua rumah tidak memiliki WC. Mereka membuang air besar di
hutan karet dan ladang, mereka terbiasa menjalani kehidupan seperti itu.
Tentunya hal ini tidak sehat dan kami memulai penyuluhan dengan memberikan
informasi dengan jelas dan manfaatnya. Tidak mudah karena ini menyangkut
perilaku, kami mendemostrasikan pembuatan dan penggunaan WC semua berjalan
dengan sangat membutuhkan waktu, kampanye dan penyuluhan berulang-ulang
membuahkan hasil kami mampu membuat masyarakat mengerti menggunakan dan mengapa
perlunya masyarakat perlu memiliki WC.
Perlahan masyarakat mulai paham kami mengadakan pendekatan melibatkan
mereka dalam perencanaan dan pembangunan, sesudah itu mereka dapat merasakan
untuk menggunakan WC, mereka sudah tak harus bingung mencari lokasi baru untuk
buang air kecil dan besar, sudah ada WC yang dapat mereka gunakan dan mereka
dilatih untuk merawat dan menjaga kebersihan WC sehingga tetap berfungsi dan
digunakan oleh penduduk setempat. Adanya banyak hal yang saya temui ketika saya
berjalan menuju desa dampingan, kelompok ibu yang selalu berusaha penopang
hidup keluarga harus kuat bertahan dimasa sulit. Suatu hal yang sering menjadi
perhatian saya adalah kehidupan perempuan yang termarginal, sejak kecil mereka
sudah mengalami diskriminasi dikeluarga, misalnya para anak perempuan tidak
diharuskan sekolah tetapi mereka di minta kerja membantu orangtua di ladang.
Para orang tua sangat mendukung anak laki-laki sekolah karena generasi penerus
keluarga dengan adanya sistem marga ”Mado” yang lebih dominan ke laki-laki.
Selanjutnya saat mereka menjadi remaja putri para orangtua sudah mulai
mencarikan jodoh untuk anak perempuannya, maka banyak perempuan muda kehilangan
masa muda mereka karena harus menjadi ibu. Pada usia 14 anak perempuan mulai di jodohkan
dengan harga mahar atau ”jujuran” yang tinggi. Ukuran wanita biasa yang tak
memiliki pendidikan harga jujuran 25 juta, di tambah 20 ekor babi. Jujuran ini tak menjadi milik keluarga
tetapi dibagikan oleh orangtua dan pamannya. Saat si perempuan menjadi istri
maka beban kerja makin tambah berhubung keluarga suaminya membayar uang jujuran
dengan meminjam uang ke rentenir, maka ia dan suaminya harus bekerja keras
untuk membayar hutang tersebut. Maka beban semakin bertambah saat si perempuan
tinggal di rumah mertua yang punya tanggungjawab untuk semua anggota keluarga.
Keluarga Nias dalam satu rumah sudah terbiasa lebih dari satu keluarga bisa
sampai 5 keluarga dalam satu rumah. Beban
perempuan dalam keluarga suami tidak mengurangi beban karena ia harus
bekerja keras dua kali lipat selain membayar utang. Suami yang lebih suka di
kedai tuak daripada bekerja, dan mertua yang ingin semua disiapkan di rumah.
Anak terus bertambah karena tidak ada akses KB dan mengurus keluarga, semua
terjadi secara berulang dan tentunya posisi perempuan akan semakin rentan
berhubung adanya streotype gender dan faktor budaya serta kurangnya pengetahuan
membuat mereka terdiskriminasi. Situasi ini berulang, dan suatu hari saya
menemukan masalah dimana seorang perempuan di perkosa dan ketahuan di warga,
siperempuan muda tidak dilibatkan dalam musyawarah, dan ketua adat mengadakan
musyawarah dan apapun keputusannya harus diterima oleh perempuan tersebut.
Hasil keputusan adat mengatakan bahwa perempuan tersebut harus menikah dengan
siapapun yang mau menikah dengannya tanpa ada alasan. Akhirnya perempuan tersebut menikah dengan duda tua
berumur 55 tahun. Satu hal lagi perempuan Nias tidak memiliki hak untuk
hidupnya. Kondisi ini membuat saya prihatin dan melalui penelitian dan
pendampingan saya akhirnya saya mengadakan sosial melalui penguatan dikusi
rutin dengan perempuan Nias. Diskusi ini difasilitasi penduduk dan saya sebagai
moderator dan pendamping menjelaskan bagaimana peranan perempuan dalam
masyarakat, serta bagaimana hak-hak perempuan yang mereka harus terima. Diskusi
kelompok dan mengundang tokoh adat dan agama untuk menjadi refleksi dan
pemberian pandangan bagaimana dampaknya jika para perempuan di diskriminasi.
Serta bagaimana caranya untuk perempuan juga dilibatkan dalam musyawarah desa
sehingga tidak terpaku kepada satu kondisi. Tentunya tidak mudah namun semua
berjalan dengan baik karena penggalangan dan penguatan modal sosial dengan
masyarakat adat diterapkan. Saat ini sudah mulai terlihat kelompok perempuan
aktif dan terlibat dalam pertemuan musyawarah. Tentunya ini masih tugas yang
panjang namun dengan adanya pemahaman tentang hak perempuan sedikitnya dapat
mengurangi beban yang berat, kerentanan dan diskriminatif pada akhirnya nanti
dapat berkurang. Semua adalah proses
namun dalam berproses kita melibatkan masyarakat dan diri untuk hasil yang
baik.
Daur
kehidupan di Nias khususnya menjadi perhatian walau saat ini belum kelihatan
hasilnya namun saya selalu berharap bahwa suatu waktu Perempuan Nias menuju
sebuah peradaban walaupun peradaban itu
belum memasuki peradaban modern atau peradaban Millenium. Namun sebagai satu
bangsa kerinduan untuk melihat perempuan Nias dapat tersenyum, dengan dapat
membaca dan menulis, berbahasa Indonesia, membicarakan keinginan dan kemauannya
serta di dengar, bagi saya dan mereka adalah suatu peradaban yang membawa
kepada sisi yang lebih baik. Beban yang berat itu perlahan akan berkurang saat
mereka paham kemanakah mereka saat sakit, bagaimana caranya dapat mengakses KB,
bagaimana rasanya hidup dan menikah
dengan orang yang dikenal bukan dengan orang yang saat itu menikah baru
dikenal. Peradaban dimana dapat menggunakan WC dan mengambil air bersih untuk
keluarga dan kehidupan sehari-hari tidak jauh, dapat melihat terang dimalam
hari saat ada listrik. Karena bagaimanapun miskin dan susahnya suatu kehidupan
di desa maka pihak yang paling rentan merasakannya adalah perempuan. Saya ingat
kata-kata orang Bijak bahwa kemajuan suatu negara dapat dilihat dari berapa
besar para perempuan atau ibu sehat dan berapa banyak para perempuan mengecap
dunia pendidikan. Wajib belajar 9 tahun yang dengungnya sangat kuat dan
terdengar, tetapi sepertinya tidak terdengar di Nias, bahkan saat dengungnya
habis, jangankan sembilan tahun mengecap dunia pendidikan dasar 6 tahun saja
tidak tercapai. Kemanakah para perempuan Nias melangkah ke suatu peradaban atau ke suatu
keterpurukan. Memang ada perempuan Nias yang sekolah sampai sarjana, namun
sangat kecil dibanding dengan perempuan yang ada di Pulau Nias karena mereka
pergi merantau enggan membangun desanya karena kesulitan sarana. Jawab para
perempuan yang sekolah diluar adalah tak ingin anak mereka merasakan apa yang
dirasakan, sehingga mereka tak ingin kembali ke Nias. Jika pemikiran ini dipertahankan
siapakah yang akan membawa perempuan Nias menuju ke peradaban? Namun kejadian
gempa dan tsunami mendongkrak sebuah keadaan sehingga dapat terlihat jelas
wajah perempuan Nias yang memiliki sebuah warna tersendiri dalam banyaknya
warna yang ada. Ternyata bangsa kita masih ada yang belum memasuki sebuah
peradaban, upaya dan usaha dilakukan untuk menolong perlahan peradaban itu ada
dan mulai terasa walau belum terdengar dan terlihat. Kerinduan yang bersahaja
adalah adanya peradaban yang dirasakan oleh perempuan Nias walau itu masih
peradaban yang dasar dan setidaknya saat ini Indonesia harus membangun
bangsanya dengan memberantas kemiskinan menuju peradaban dengan cara memberikan
akses pendidikan, kesehatan, listrik dan sanitatsi air bersih. Percuma membangun
suatu menara di tengah gurun pasir karena perlahan akan hancur, namun lebih
baik membangun rumah diatas batu yang dapat memberikan tumpangan dan kehidupan
bagi banyak orang.
Surat Pernyataan
Saya yang bernama : Adelina
R. Simatupang
Usia :
29 Tahun
Telepon :081396389011
Pekerjaan :
Program Officer IFRC – Nias
Alamat : Jalan Mesjid Kuncen
Gg. Mawar No. 227 A
Yogyakarta
Dengan ini menyatakan bahwa, tulisan ini adalah pengalaman saya selama
mendampingi masyarakat Nias di Pulau Nias, serta belum pernah dimuat dalam
media apapun. Demikianlah saya sampaikan
atas perhatian dan kerjasamanya, terimakasih.
Hormat Saya,
Adelina R.Simatupang
No comments:
Post a Comment