Monday, July 1, 2013

KARANGSAMBUNG: PERTEMUAN ANTARLEMPENG 100-65 JUTA TAHUN YANG LALU YANG KINI MENJADI GEOWISATA KARANGSAMBUNG


Karangsambung, 20 km di sebelah utara Kebumen, Jawa Tengah adalah nama sebuah kecamatan. Kecamatan ini dialiri oleh sebuah sungai cukup besar yang mengalir dari utara ke selatan, dari Pegunungan Serayu melalui Kebumen sebelum bermuara di Samudera Hindia. Orang-orang berbahasa Jawa menamakan sungai itu “Luk Ulo” – meliuk-liuk seperti ular.


Daerah Karangsambung atau juga suka disebut daerah Luk Ulo adalah nama yang sangat terkenal dalam dunia geologi, baik di Indonesia maupun regional Asia Tenggara. Namanya juga kerap muncul di makalah-makalah atat jurnal-jurnal geologi, khususnya yang membahas soal tektonik Indonesia dan Asia Tenggara. 
Keanekaragaman batuan di Karangsambung dengan kenampakan morfologi serta kerumitan struktur geologinya menjadikan kawasan ini ditetapkan sebagai monumen geologi, atau resminya Cagar Alam Geologi Karangsambung berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No.2817K/40/MEM/2006.

Karangsambung pun populer di kalangan banyak mahasiswa geologi, sebab di sinilah mereka belajar dan berlatih geologi di lapangan selama beberapa minggu dibimbing para dosennya secara bergantian.

Meneruskan perjalanan dari Karanggayam, kami Tim Fieldtrip Pertamina UTC, mengunjungi Karangsambung pada Kamis 27 juni 2013. Sebuah kunjungan yang terlalu singkat , tetapi kebanyakan dari kami pada masa mahasiswanya, seperti disebutkan di atas, pernah berminggu-minggu di Karangsambung.

Berikut sedikit cerita tentang pentingnya Karangsambung dalam geologi Indonesia, khususnya tektonik Indonesia.

Karangsambung/Luk Ulo telah disebut-sebut namanya oleh ahli-ahli geologi Belanda seperti pada publikasi-publikasi Verbeek dan Fennema (1896) atau van Bemmelen (1949). Adalah Harloff (1933) yang memetakannya secara detail area ini untuk pertama kalinya. Dari awal pun mereka sudah tahu bahwa area ini sangat unik secara geologi sebab mengandung banyak batuan yang begitu bermacam-macam dan asalnya macam-macam juga, dari batuan sedimen di cekungan, batuan gunungapi, sampai batuan yang menurut mereka hanya ada di akar litosfer.

Kita tinggalkan dulu Karangsambung. Hampir sepanjang tahun 1960-an banyak ahli geologi dan geofisika di seluruh dunia bersambung-sambungan saling bekerja sama meneliti dan mempublikasikan masalah-masalah yang pada akhirnya melahirkan suatu teori yang sering disebut sebagai teori yang merevolusi geologi, yaitu teori “tektonik-dunia yang baru” (new global tectonics) atau lebih terkenal sebagai teori TEKTONIK LEMPENG (plate tectonics). Inti teori ini adalah bahwa litosfer, lapisan batuan paling luar Bumi itu, terpecah-pecah menjadi lempeng-lempeng (disebut lempeng/plate karena dimensinya luas tetapi relatif tipis) berupa lempeng benua dan samudera, yang satu sama lain saling bergerak, entah saling berpisah, berbenturan, atau berpapasan.

Pada tahun 1968 barangkali bisa disebut teori ini telah mengristal ketika beberapa ahli telah bisa menerangkan dengan gamblang bagaimana fenomena-fenomena jalur punggungan/pegunungan tengah samudera, jalur palung laut dalam di tepi benua, jalur gunungapi, jalur pegunungan lipatan, dan jalur gempa berhubungan dengan gerakan-gerakan lempeng. Dan pada tahun 1969, dua orang ahli geologi bernama Hatherton dan Dickinson untuk pertama kalinya menerapkan teori ini guna memahami jalur gunungapi Indonesia. Mengapa di Indonesia, sebab mereka tahu bahwa gunungapi yang paling banyak di dunia adalah di Indonesia. 

Sejak paper Hatherton dan Dickinson (1969) itu, mulailah teori tektonik lempeng diterapkan di Indonesia secara signifikan, dan hasilnya sangat memuaskan sebab Indonesia ternyata merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng dunia: Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik. Adalah tiga orang yang patut disebut ahli-ahli pertama yang banyak menerapkan teori ini di Indonesia: John Katili, Sukendar Asikin, dan Warren Hamilton. Pencapaian penelitian Katili soal ini berakhir dengan buku kumpulan papernya “Geotectonics of Indonesia” (Katili, 1980), Hamilton dengan buku teksnya “Tectonics of the Indonesian Region” (Hamilton, 1979), dan Sukendar Asikin dengan disertasi doktornya yang dipromotori oleh Katili, yaitu “Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya, Ditinjau dari Segi Teori Tektonik-Dunia yang Baru” (Asikin, 1974). 

Kita kembali lagi ke Karangsambung. Lalu, apa pentingnya Karangsambung/Luk Ulo dalam tektonik Indonesia? Penelitian-penelitian menggunakan teori tektonik lempeng oleh Katili, Hamilton dan khususnya Sukendar Asikin yang memusatkan penelitiannya di Karangsambung, menunjukkan bahwa Karangsambung merupakan titik pertemuan antarlempeng yang terjadi pada suatu zaman geologi yang disebut Kapur Akhir (100-65 juta tahun yang lalu). Di area ini cikal bakal lempeng samudera Hindia (menurut pengetahuan sekarang adalah lempeng samudera Ceno-Tethys – Satyana, 2003) menekuk/menunjam/subduksi di bawah lempeng benua Eurasia yang diduduki oleh Jawa bagian utara. Penekukan ini membentuk palung. Dan dalam proses pertemuan ini, lempeng samudera itu berjalan terus menekuk di bawah benua. Dalam proses ini batuan-batuan penyusun kerak samudera dan sebagian mantel atas di bawah litosfer dan batuan-batuan di tepi benua terkerat, tercabut dalam proses tektonik yang amat rumit di dalam palung. Maka hasilnya adalah di dalam palung subduksi ini terjadi percampuran batuan yang luar biasa kompleks, menghasilkan kompleks batuan yang umum disebut kompleks mélange (dari bahasa Prancis: campuran), atau kompleks “bancuh” dalam bahasa Indonesia, yang berarti “kacau teraduk”. Maka sebagai akibatnya, di Karangsambung ditemukan aneka batuan dalam hubungan struktur/kontak yang rumit.

Apakah Karangsambung berdiri sendiri sebagai titik kontak pertemuan antar lempeng pada zaman Kapur Akhir itu? Tidak, sebab yang bertemu adalah lempeng tentu pertemuannya akan berupa jalur, bukan titik. Lalu di mana “kawan” Karangsambung itu yang menyingkapkan batuan-batuan serbabancuh di dalam palung, ada yaitu Ciletuh di Jawa Barat, yang sudah saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelum ini. 
Apakah ada sambungan Karangsambung ke sebelah timurnya? Banyak paper menyambungkan Karangsambung ke Bayat, lalu makin ke timurlaut dihubungkan dengan Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Tetapi paper-paper saya (Satyana, 2003/IAGI-HAGI, 2010/IPA, 2012/AAPG; Satyana dan Armandita, 2008/HAGI) ) dengan beberapa argumen yang menggunakan: oceanic plate stratigraphy, terrane tectonics, dan data gaya berat serta pemodelan keraknya (crustal architecture), tak menghubungkan Karangsambung ke Bayat apalagi Meratus, melainkan menyambungkan Karangsambung ke area bernama Bantimala di Sulawesi Selatan.

Di Karangsambung, Kamis pagi-siang 27 Juni 2013 itu, kami berputar-putar ke tempat-tempat terkenal yang bisa dikunjungi secara singkat: morfologi bukit-bukit yang disusun ofiolit, batuan sedimen Totogan dan Penosogan, lempung tergerus kuat sebagai matriks/massa dasar mélange, lava bantal dan rijang radiolaria serta batugamping merah kalsilutit Kali Muncar yang merupakan bagian paling atas kerak samudera, peridotit terserpentinisasi Pucangan yang merupakan bagian litosfer bawah atau mantel bagian atas, dan banyak bongkah-bongkah aneka jenis batuan metamorf dan ofiolit, juga endapan sedimen Formasi Karangsambung yang berumur Eosen Tengah (sekitar 40 juta tahun yang lalu). 

Sebelum meninggalkan Karangsambung, kami makan siang di kampus geologi Karangsambung, yang dibangun LIPI. Kami makan di balai bernama Mensa Sukendar Asikin, untuk mengenang jasa Prof. Dr. Sukendar Asikin yang meneliti area Karangsambung untuk pertama kalinya setelah lahirnya teori tektonik lempeng.

*ditulis oleh: Awang Satyana - Pertamina UTC

No comments: