Thursday, December 26, 2013

Materi Pelatihan Pendamping Lokal UPK "KEMISKINAN DAN SIKAP MENTAL"


KEMISKINAN DAN SIKAP MENTAL

Pendahuluan
Berbicara kemiskinan dalam benak kita selalu berasumsi pada permasalahan ekonomi semata, pemikiran tersebut boleh dibenarkan namun akan lebih bermakna dalam memahami kemiskinan apabila kita mau membuka pemikiran kira dalam kerangka yang bersifat lebih multisidensional. Artinya memahami kemiskinan dengan melihat berbagai macam atau sudut pandang yang cukup luas, seperti budaya, social, politik, asset atau kepemilikan dan ekonomi itu sendiri.
Permasalahan yang timbul akibat kemiskinan dapat berupa, salahnya meletakkan system ekonomi dan politik suatu bangsa, sehingga masyarakat lebih menjadi miskin akibat Kebijakan ekonomi dan Kebijakan politik yang kurang menguntungkan pada mereka, sehinga mereka tidak memiliki akses yang memadai guna mengisi kehidupannya secara layak. Disisi lain dapat pula akibat dari perilaku atau kebiasaan masyarakat itu sendiri yang kurang dapat memanfaatkan kemampuan dirinya atau memanfaatkan lingkungan yang ada.
Kondisi tersebut diatas, tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan memperparah kondisi masyarakat miskin seperti; melemahnya etos kerja, rendahnya perlawanan terhadap berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang mendorong mereka melakukan jalan pintas guna mempertahankan hidup.
Disisi lain upaya-upaya memerangi kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin dan mengurangi pengangguran melalui berbagai program seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan meningkatkan penghasilan dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Peningkatan penghasilan dan menciptakan lapangan kerja disini seolah-olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal persoalan kemiskinan justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
________
* R. Permadi Mulajaya

Teori Kemiskinan
Kemiskinan, adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sebagian besar atau seluruh anggota masyarakat (penduduknya) berada pada standar hidup yang rendah. Pada kajian ini standar hidup rendah yang digolongkan sebagai penduduk miskin di Indonesia dikonotasikan sebagai rumahtangga penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Standar hidup yang rendah (Todaro, 1989), dimanifestasikan secara kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk pendapatan yang rendah (kemiskinan), perumahan yang kurang layak, kesehatan yang buruk, sedikit atau tidak berpendidikan, angka kematian yang tinggi, harapan hidup dan mendapatkan pekerjaan yang rendah dan dalam banyak hal mereka berada dalam keadaan yang sulit dan tidak mempunyai harapan sama sekali.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut. Sejalan dengan konsep absolut ini, maka Bank Dunia mendefiniskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan suatu individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Walaupun secara sepintas ada perbedaan paham tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dilihat hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka kesimpulannya bahwa kedua konsep kemiskinan tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan terkecil. Karena itu, golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakat tersebut. Jadi sesungguhnya secara langsung terdapat hubungan sebab akibat antara masyarakat yang lemah (secara relatif) dan yang miskin secara absolut ini.
Pemahaman  mengenai kemiskinan yang berkembang akhir-akhir ini tidak hanya mengacu pada soal ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi  dasar  karena rendahnya pendapatan tetapi juga  mempertimbangkan dimensi lain dari kebutuhan manusia yang menyangkut aspek-aspek  sosial dan moral. Pengertian kemiskinan menjadi multidimensional, kompleks, dan dinamis ( Narayan, Deepa, 2002  : 32 ).
Definisi kemiskinan  berdasarkan hasil rumusan konferensi dunia untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen sebagai berikut : “Kemiskinan mempunyai wujud yang majemuk, termasuk rendahnya pendapatan, dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan, dan layanan-layanan pokok lainnya. Kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat,kehidupan bergelandang,  dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi  dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan dengan rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam  kehidupan sipil, sosial dan budaya ”(1995).
Rudolf S Sinaga dan Benyamin White (1980), membedakan konsep kemiskinan menjadi dua, yaitu : (1) Kemiskinan alamiah (natural poverty) adalah kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. (2) Kemiskinan buatan (artificial poverty) lebih erat hubungannya dengan perubahan-perubahan ekonomi, teknologi dan pembangunan itu sendiri. Kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.
Sementara itu Mukherjee ( 2000)  menyimpulkan bahwa orang miskin di Indonesia pada umumnya dihinggapi  oleh rasa ketidakberdayaan (powerlessness). Ciri-cirinya adalah pertama, mereka tidak diikutkan dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Kedua, tidak ada tempat bagi suara kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, orang miskin sangat tidak mempercayai institusi-institusi Negara.
Disisi lain menurut Daman Huri dkk; (2008:29-30) melihat dari beberapa teori-teori klasik tentang kemiskinan, setidaknya ada tiga perspektif yang berbeda dalam melihat kemiskinan. Pertama, kemiskinan sebagai fenomena transendental. Seseorang menjadi miskin adalah karena takdir Tuhan menghendaki demikian. Orang menjadi miskin karena sudah ditakdirkan terlahir dari keluarga miskin, sedangkan untuk mengubahnya manusia hanya diberi satu pilihan, yaitu berdoa memohon pada Tuhan untuk mengubah nasibnya. Kedua, kemiskinan sebagi fenomena sosial. Dalam perspektif ini orang miskin dilihat sebagai akibat dari mentalitas orang yang bersangkutan. Orang menjadi miskin karena malas, bodoh dan tidak mau bekerja keras atau tidak memiliki etos kerja yang tinggi. Ketiga, kemiskinan struktural. Perspektif ini memandang kemiskinan sebagai akibat dari struktur yang tidak memberi peluang kepada orang miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sehinga kemiskinan sebagai ciptaan struktural, bukan karena mereka malas bekerja atau takdir yang menentukan mereka demikian.
Oleh Moeljarto Tjokrowinoto dalam Ambar Teguh (2004;27) dikemukakan bahwa kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata; tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan  (vulnerability), ketidakberdayaan (power-less), tertutupnya akses kepada pelbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari suatu generasi ke generasi beriktunya.
Peter Townsend dalam Ambar Teguh (2004;32) membagi konsep kemiskinan menjadi tiga yaitu Pertama, kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardstick) berorientasi pada kebutuhan pasar. Kedua, kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu, yang berorientasi pada derajat kelayakan hidup suatu masyarakat tertentu. Ketiga, kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri.
Sajogyo menggunakan satuan kilogram beras ekuivalen untuk menentukan kriteria batas garis kemiskinan penduduk, yaitu 240 kg/orang/tahun, sehingga orang dikatakan miskin apabila dalam satu tahun tidak mampu memenuhi konsumsinya paling tidak hingga mencapai beras minimal tersebut. Berdasarkan kriteria ini, Sajogyo membedakan kemiskinan masyarakat ke dalam beberapa kelompok:
a)    Kelompok Sangat Miskin
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg beras ekuivalen setiap orang dalam setahun untuk penduduk yang tinggal di perdesaan, dan mereka yang berpenghasilan di bawah / setara dengan 360 kg beras selama setahun untuk penduduk yang tinggal di perkotaan.
b)    Kelompok Miskin
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 240 kg beras sampai 320 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di perdesaan, dan mereka yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras sampai 480 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di daerah perkotaan.

c)    Kelompok Hampir Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 320 kg beras sampai 480 kg beras sampai 720 kg beras setiap orang dalam waktu setahun untuk penduduk yang tinggal di perkotaan
d)    Kelompok Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan lebih dari 480 kg beras setiap orang selama setahun di daerah perdesaan, dan mereka yang mempunyai penghasilan di atas setara 720 kg beras setiap orang selama setahun untuk daerah perkotaan.
Secara konsepsi pekerja sosial mengkategorikan kemiskinan menjadi tiga kategori, sesuai dengan tingkatannya yaitu: (1) kelompok sangat miskin sekali (destitute) dengan pandangan memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan bahkan tidak punya pendapatan sama sekali dan tidak pula memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial, (2) kelompok miskin biasa (poor) dengan pandangan memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan bahkan tidak punya pendapatan sama sekali namun memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial, (3) kelompok rentan atau near poor pandangan dari kelompok ini sangat rentan terhadap perubahan sosial yang fluktuatif, sehinga rentan berganti posisi dari dekat kemiskinan menjadi miskin yang sesungguhnya (Suharto;2005:148-149). 
Ted K. Bradshaw dalam Antonio PH dkk (2008; 14-15) menjelaskan mengapa kemiskinan timbul (1) kelemahan-kelemahan individual; (2) sistem budaya yang mendukung subkultur kemiskinan; (3) distorsi-distorsi ekonomi-politik atau diskriminasi sosial-ekonomi; (4) kesenjangan kewilayahan, dan (5) asal-usul lingkungan yang bersifat kumulatif. Sementara itu oleh Guy Standing dalam Antonio PH dkk (2008:15) memandang sebab-sebab kemiskinan tidak sekedar berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan perkara struktural yang disebutkan ”kerentanan ekonomi” (economic insecurity), yang bersumber dari (1) risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian dan (2) kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan untuk memulihkan diri (to recover).
Sebagaimana dikemukakan Izzadin Bakhit, et.all (2001) dalam bukunya Attacking The Roots of Povety menyebutkan bahwa : “Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat komplek”. Kemiskinan dapat dipandang dari sudut mekanis sebagai rendahnya tingkat pendapatan. Akan tetapi, pada perekonomian subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri) atau “perekonimian afeksi” yang didasarkan pada solidaritas kekeluargaan atau keturunan, tingkat pendapatan saja tidak dapat dijadikan ukuran kemiskinan yang sahih. Lebih jauh lagi, kemiskinan dapat juga dipandang sebagai deprivasi dalam arti rendahnya atau tidak memadainya akses kepada sumber daya atau karena hidup di lingkungan alam yang semakin buruk atau rusak, serta ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok.
Apabila kita mengkaji "poverty profile" masyarakat, maka akan terungkap bahwa masalah kemiskinan bukan saja masalah "welfare", akan tetapi mengandung berbagai alasan.
Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan (vulnerability). Hal ini misalnya jika pembangunan struktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai, akan tetapi jika saja terjadi kekeringan dua tahun berturut-turut maka, akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai pada titik yang terendah. Dari sini terlihat bahwa para petani masih hidup dalam tahap subsistem..
Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berprestasi dalam proses produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif, yang menuntut kerja keras dalam jam kerja yang panjang dengan imbalan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tawar menawar mereka dalam struktur hubungan produksi. Kemiskinan dengan demikian, berarti hubungan dependensi kepada pemilik tanah, rentenir, pimpinan proyek, kepala desa, dan sebagainya.
Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat dalam menentukan keputusan yang menyangkut dirinya tanpa memberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kematian, kekumuhan, dan kekotoran.
Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian besar penghasilan golongan miskin untuk konsumsi pangan dengan kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat rendah yang mengakibatkan produktivitas dan etos kerja mereka rendah pula. Di samping itu juga akan menghasilkan ketahanan fisik yang juga rendah.
Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetensi merebut peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah.
Keenam, kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan sebagaimana disinggung diatas, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Penghapusan "physical poverty" tidak secara otomatis akan menghapuskan "culture of poverty". Budaya kemiskinan yang diwariskan secara antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas. Dan itu berarti menghambat kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan.
Menurut Sunyoto Usman dalam Daman Huri dkk (2008:80) dikemukakan ada 3(tiga) macam konsep kemiskinan, yaitu (1) kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick) artinya berorientasi pada kebutuhan dasar minimum anggota masyarakat ( sandang, papan dan pangan ); (2) kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relartive standard, yaitu memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Artinya kemiskinan disuatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu lain; dan (3) kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Kelompok yang menurut ukuran seseorang berada di garis bawah kemiskinan boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin atau sebaliknya.
Nurkse dalam Sukirno (2006;113) menyatakan bahwa adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan, ketertinggalan, kekurangan modal, adalah merupakan ciri dari masyarakat miskin yang akhirnya akan menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produksi mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diterima. Dan rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya akan terjadi siklus seperti semula. Pemikiran Nurkse ini lebih dikenal dengan Teori Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious circle of poverty), maksud dari teori ini adalah adanya serangkaian  kekuatan yang saling mempengaruhi, sehingga dapat menimbulkan keadaan, dimana seseorang atau kelompok atau bahkan negara, akan tetap miskin dan tetap akan mengalami banyak kesukaran dalam mencapai tingkat yang lebih tinggi.



 















Gambar : Lingkaran Setan Kemiskinan (the vicious circle of poverty)

Dimensi Kemiskinan
Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan  peristiwa yang khas per lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
a)    Dimensi 1 : Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
b)    Dimensi 2 : Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan (powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)
c)    Dimensi 3 : Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
d)    Dimensi 4 : Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain :
·         kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja, hunian, perhiasan, dsb
·         kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalang orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.
·         aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll
·         aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan.
Secara rinci ke empat  aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Aset fisik (physical capital),
a)    Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya
b)    Aset kemanusiaan (human capital),
      Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb
c)    Aset sosial (Social capital)
      Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
d)    Aset lingkungan (environmental asset)
      Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini
·         Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut.
·         Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok penghasilan dalam masyarakat.
Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut :
§  Kemiskinan menahun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis atau terisolasi
§  Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
§  Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau petani tanaman pangan
§  Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa dimensi sebagai berikut :
a)    Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya, tidak dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya financial dan sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan maka sering kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali secara juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
b)    Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis kemiskinan.
Berbagai lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan antara lain sebagai berikut :
Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori :
·         miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg
·         miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
·         paling miskin di perkotaan 270 kg  dan perdesaan 180 kg
BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di perdesaan.
c)    Dimensi Aset
Tinjauan kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja, sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb), kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
d)    Dimensi budaya dan psikologi
Dari dimensi budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin dalam lembaga-lembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb
Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil sehingga guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.

Kesimpulan
Bahwa kemiskinan bukan semata – mata hanya pada kurang modal dan tidak dimilikinya ketrampilan akan tetapi disesabkan oleh banyak faktor. Di antara berbagai penyebab kemiskinan penyebab yang utama atau sering disebut akar masalahnya adalah sikap mental ( sikap dan perilaku) manusia, yang melunturkan kebersamaan di antara mereka, atau merenggangnya solidaritas sosial.

No comments: