Monday, December 8, 2014

Alokasi Dana Desa Tahun 2015 Provinsi Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan



Penetapan Alokasi Dana Desa Provinsi Aceh , Sumatra Utara dan Sumatra Barat



MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI POKOK-POKOK PIKIRAN MENGENAI REVITALISASI PERAN PENDAMPING DALAM MEWUJUDKAN DESA KUAT DAN MANDIRI

1 Disajikan dalam acara Semiloka Semiloka Nasional Revitalisasi Peran Pendamping
Desa Menuju Desa Kuat dan Mandiri (AFPM – IPPMI – HAPMI), Solo, 30
Nopember 2014
MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI
POKOK-POKOK PIKIRAN MENGENAI REVITALISASI PERAN PENDAMPING
DALAM MEWUJUDKAN DESA KUAT DAN MANDIRI
A. PENGANTAR
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa atau dikenal sebagai UU Desa memandatkan bahwa Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
2. Dalam rangka mewujudkan Desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis telah diatur dalam UU Desa bahwa desa merupakan subyek yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat. Desa dapat menyusun dan menetapkan peraturan desa sebagai dasar untuk mengurus urusan masyarakat khususnya hal-hal yang menjadi kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul maupun kewenangan lokal berskala desa. Pengelolaan kewenangan desa ini dilakukan dalam kerangka tata pemerintahan desa yang dikelola sendiri oleh masyarakat itu sendiri (self governing community). Prakarasa dan partisipasi rakyat dalam pengelolaan desa menjadi kata kunci proses demokratisasi desa, utamanya sebuah dinamika politik lokal yang melahirkan para pemimpin desa yang amanah dan berdedikasi bekerja untuk rakyat desa.
3. Sebagai upaya untuk mewujudkan desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis tersebut dalam UU Desa Pasal 112 ayat (3) telah dimandatkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a. menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan
2
c. mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
Selanjutnya dalam UU Desa Pasal 112 ayat (4) disebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan.
4. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 telah memandatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan masyarakat Desa secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga.
5. Yang dimaksud pendamping masyarakat dari pihak ketiga adalah antara lain, adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, atau perusahaan, yang sumber keuangan dan kegiatannya tidak berasal dari anggaran Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan/atau Desa.
6. Berdasarkan mandat UU Desa Pasal 112 maupun PP No. 43 Tahun 2014, tampak jelas bahwa pemberdayaan masyarakat desa mensyaratkan adanya tenaga pendamping. Artinya bahwa pendampingan masyarakat dan desa dalam rangka mewujudkan keberdayaan masyarakat desa menjadi prasyarat mutlak.
B. VISI MISI JOKOWI-JK DAN RENCANA KERJA STRATEGIS KEMENTERIAN DESA
1. Implementasi UU Desa selama dalam era Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kall dikontekskan dalam rangka perwujudan visi-misi pemerintahan Jokowi-JK. Visinya adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi Jokowi-JK merupakan cita-cita anak bangsa Indonesia dalam merajut peradaban mulia. Ditengah arus globalisasi, menjadi sangat penting kita membangunan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi maupun ketahanan budaya nasional.
2. Dari Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) salah satunya yang sangat relevan dengan aktivitas para pendamping masyarakat desa adalah Nawa Cita Ke-3 yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”. Dalam rangka menjalankan Nawa Cita Ke-3, khususnya yang berkaitan dengan desa, dalam visi-misi Jokowi-JK disebutkan akan dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan.
b. pemastian berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa dan semangat UU Desa.
c. penyiapan dan pelaksanaan kebijakan regulasi baru untuk membebaskan desa di kantong-kantong hutan dan perkebunan
d. pengembangan kapasitas dan pendampingan desa secara berkelanjutan.
3
e. pemastian redistribusi negara, baik Dana Desa (APBN) dan Alokasi Dana Desa (APBD), maupun distribusi lahan kepada desa, berjalan secara efektif.
f. penyiapan dan pelaksanaan kebijakan regulasi baru tentang share-holding antara pemerintah, investor dan desa dalam pengelolaan sumberdaya alam.
g. penyiapan dan pelaksanaan kebijakan regulasi baru tentang akses dan hak desa untuk mengelola sumberdaya alam berskala lokal (tambang, hutan, kebun, perikanan dan sebagainya) untuk kemakmuran rakyat.
h. pelaksanaan program-program investasi pembangunan perdesaan (seperti hutan, kebun, ternak, perikanan, agroindustri kerakyatan dan sebagainya) dengan pola shareholding yang melibatkan desa dan warga desa sebagai pemegang saham.
3. Berdasarkan Visi-Misi Jokowi-JK dimaksud, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi akan menjalankan Nawa Kerja (sembilan rencana kerja prioritas) yang sangat strategis terkait dengan proses pemberdayaan masyarakat desa adalah:
C. PENGUATAN DESA MANDIRI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Intisari pemberdayaan masyarakat dalam konteks perwujudan desa-desa Indonesia yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis adalah memperkuasakan rakyat untuk mampu merencanakan dan memutuskan sendiri kegiatan pembangunan di desanya sekaligus mampu mengelola pelaksanaan kegiatan tersebut secara swadaya gotong royong.
2. Untuk itu, dalam rangka mewujudkan cita-cita kita membangun desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis dibutuhkan adanya para pendamping-pendamping masyarakat yang mampu untuk :
 mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan Desa yang dilaksanakan secara swakelola oleh Desa;
 mengembangkan program dan kegiatan pembangunan Desa secara berkelanjutan dengan mendayagunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di Desa;
 menyusun perencanaan pembangunan Desa sesuai dengan prioritas, potensi, dan nilai kearifan lokal; No NAWAKERJA PRIORITAS 1 Perluncuran “Gerakan Desa Mandiri” di 5000 desa pada tahun 2015 2 Pendampingan dan Penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di 5000 desa pada tahun 2015; 3 Pembentukan dan pengembangan 5.000 BUMDES; 4 Revitalisasi Pasar Desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan; 5 Pembangunan Infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5000 Desa Mandiri; 6 Penyiapan implementasi penyaluran Dana Desa Rp. 1,4 miliar per desa secara bertahap; 7 Penyaluran Modal bagi Koperasi/UKM di 5.000 Desa; 8 Pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di 5000 desa; 9 “Save villages” di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar dan terpencil.
4
 menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal;
 mengembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa;
 mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat;
 mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa;
 menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat Desa;
 melakukan pendampingan masyarakat Desa yang berkelanjutan; dan
 melakukan pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa.
3. Pendampingan masyarakat desa merupakan bagian utama dari proses pengembangan kapasitas masyarakat desa. Core business pemberdayaan masyarakat Desa adalah penguatan dan pemberkuasaan rakyat sebagai proses belajar sosial yaitu learning by capacity dan learning by doing yang menyatu dalam seluruh praktek pembangunan di tingkatan komunitas. Pemberdayaan masyarakat merupakan varian dari proses reformasi tatanan ekonomi-politik melalui sebuah proses transformasi sosial.
4. Pendampingan masyarakat merupakan sebuah proses kaderisasi desa. Sebuah upaya menciptakan kader-kader desa sebagai orang-orang kunci yang mampu menggerakkan dinamika kehidupan di desa yang berwatakan Trisakti : berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Kader desa ini juga mampu hadir sebagai agen-agen perubahan (the agent of changes) yang terdidik dan terlatih untuk mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita normatif.
5. Dengan demikian, melalui kaderisasi desa diupayakan lahir para pemimpin desa yang amanah. Pemimpin desa adalah seorang bijaksana yang mengedepankan musyawarah (syura), kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Pemimpin desa, sebagai produk pemberdayaan masyarakat Desa, dilahirkan oleh kehendak rakyat, dipilih secara sukarela dalam semangat swadaya gotong royong dari mayoritas rakyat yang akan dipimpinnya. Intinya, pemimpin desa sebagai wujud kehendak kolektif rakyat adalah pemimpin yang berdaya dalam mengajak atau menganjurkan warga desanya untuk menjalankan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk (amar ma'ruf nahi munkar). Sebab, dalam diri pemimpin Desa itu sejatinya mampu menghadirkan ketauladanan secara nyata bagi warga desanya. Kepala Desa adalah seorang pemimpinan rakyat.
6. Kaderisasi desa ini diharapkan menjadi sebuah upaya merevitalisasi kehidupan demokrasi kerakyatan yang bermartabat serta melahirkan kader-kader politik lokal yang berjiwa negarawan. Menjadi desawan (orang yang peduli dan terlibat aktif dalam kehidupan desanya) yang sekaligus adalah negawaran (orang yang peduli dengan kehidupan bangsa dan negaranya).
7. Pendampingan masyarakat dalam konteks implementasi UU Desa berada dalam ranah pembelajaran politik. Karenanya, tidak dimungkinkan lagi adanya pola-pola pendampingan desa yang bersifat apolitis sebagai sekedar urusan penyelesaian urusan
5
proyek-proyek pembangunan. Ke depan dituntut adanya pendamping-pendamping masyarakat desa yang mampu hadir sebagai guru-guru kader untuk melahirkan kekuatan rakyat desa sebagai benteng NKRI. Pendamping masyarakat desa harus didudukkan sebagai bagian dari upaya menegakkan kedaulatan bangsa dan negara sebagaimana diwujudkan dengan mengimplementasikan UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.
8. Pendampingan masyarakat desa yang berkarakter politis ini diharapkan mampu melahirkan partisipasi masyarakat yang bersifat substansial. Ukuran partisipasi masyarakat desa tidak sekedar jumlah kehadiran orang-orang dalam forum-forum musyawarah atau sekedar perhitungan kehadiran orang dalam kegiatan gotong-royong. Partisipasi masyarakat hendaknya dimaknai secara baru dengan memfokuskan diri pada kemampuan rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan mengartikulasikan kepentingannya secara demokratis dalam ruang-ruang publik politik.
D. GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL PEMBERDAYA (PELAKU PEMBERDAYAAN) MASYARAKAT DESA
1. Agar para pendamping masyarakat yang sekarang ini aktif mendampingi program-program pemberdayaan masyarakat mampu menjadi pendamping desa yang handal pada saatnya nanti diimplementasikan UU Desa secara masif di seluruh desa yang ada di Indonesia, maka bekal pertama adalah perubahan paradigma berpikir. Paradigma pemberdayaan masyarakat berskala proyek yang cenderung memobilisasikan partisipasi masyarakat sudah saatnya kita upah menjadi paradigma gerakan sosial. Para pendamping harus mampu membangun gerakan sosial yang berdampak nyata pada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh sekaligus menegakkan kedaulatan bangsa.
2. Untuk itu, Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi pada dasarnya menjadi landasan untuk dilakukannya revolusi mental pendamping desa yang saat ini tersebar di berbagai program pemberdayaan masyarakat.
3. Intisari Revolusi Mental dikalangan pendamping desa adalah membongkar dan mendobrak mentalitas para pendamping untuk secara sukarela berjuang melawan kondisi-kondisi yang menghancurkan ketahanan bangsa yaitu korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
4. Sebagaimana Jokowi menyerukan Revolusi Mental menjadi sebuah gerakan nasional, maka menyongsong implementasi UU Desa, para pendamping desa harus bersedia untuk bersatu, bergerak dan berswadaya gotong royong dalam sebuah dinamika sosial yang saya sebut: “Gerakan Nasional Revolusi Mental Pemberdaya Masyarakat Desa”.
5. Sudah saatnya para pemberdaya masyarakat tidak tenggelam dalam rutinitas proyek, merasa aman dalam zona nyaman pekerjaan yang mapan. Para pemberdaya masyarakat harus bangkit dan bergerak mendobrak dan membongkar mentalitas anak bangsa Indonesia yang dilahirkan oleh struktur-stuktur politik, ekonomi, sosial dan budaya yang melahirkan situasi ketidakadilan.
6
6. Berbekal dengan jiwa menggelora untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara, maka sudah sepantasnya jikalau nantinya jajaran pemberdaya masyarakat desa bergabung bersama mendampingi implementasi UU Desa.
E. Penutup
1. Revitalisasi Peran Pendamping dalam Mewujudkan Desa Kuat dan Mandiri adalah pilihan strategis yang diharapkan mampu mendorong tumbuhnya kemandirian desa dalam proses implementasi UU Desa.
2. Peran pendamping desa dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat ini sangatlah penting apabila para pendamping mampu menempatkan desa sebagai subyek pembangunan. Karenanya, kemampuan pendamping sebagai pengorganisasi masyarakat merupakan sebuah prasyarat yang mutlak untuk dikuasai. Dengan demikian, tidak kata lain bahwa sekarang ini saatnya para pendamping memperbaharui diri agar mampu menjadi pendamping-pendamping masyarakat yang handal dan profesional yang semoga saja menjadi bagian penting dalam proses implementasi UU Desa.

RUMUSAN KERJA JEJARING ASOSIASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYEDIAAN TENAGA PENDAMPING PROFESIONAL



LATAR BELAKANG
PP 43/ 2014 Pasal 129 tentang pelaksanaan UU Desa menyebutkan, tenaga pendamping profesional terdiri atas; Pendamping Desa yang bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, kerja sama Desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal Desa; Pendamping teknis yang bertugas mendampingi Desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral; dan Tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Disebutkan pula pada pasal tersebut bahwa pendamping sebagaimana dimaksud harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau teknik.

Peran strategis asosiasi pendamping atau fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah memberikan guidelines dan rumusan serta menyediakan tenaga pendamping profesional, termasuk untuk meningkatkan kapasitas anggotanya. Asosiasi pendamping pemberdayaan masyarakat yang ada saat ini diharapkan mampu memberi rumusan – rumusan strategis terkait hal tersebut diatas. Jumlah desa yang tidak sebanding dengan jumlah anggota asosiasi justru menjadikan kesempatan asosiasi untuk meningkatkan kapasitas anggotanya sehingga memiliki daya tawar yang tinggi terhadap user-nya. Sinergi antar asosiasi menjadi syarat utama dalam pemenuhan hal tersebut, jika secara bersama dapat memaknainya sebagai upaya untuk mengabdi pada negeri, tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai job opportunity.

Dalam konteks kehidupan bernegara, pelibatan masyarakat yang tergabung dalam komunitas – komunitas adalah pengejawantahan dari demokrasi Pancasila. Asosiasi pendamping pemberdayaan masyarakat adalah bagian dari komunitas – komunitas tersebut. Sehingga negara harus mendukung upaya pelibatan asosiasi pendamping pemberdayaan masyarakat dalam kebijakan – kebijakan terkait.

DESAIN PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS SWAKELOLA



Basis pemikiran dari terbitnya UU Desa adalah pemberian kuasa dan wewenang kepada desa untuk mengelola pembangunan desa secara otonom. Hal ini membuka peluang keterlibatan rakyat desa dalam ikut andil dalam berkehidupan bernegara. Partisipasi rakyat dalam pembangunan desa selama ini menjadi tonggak utama pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks negara, mekanisme swakelola program adalah bentuk pelimpahan wewenang dan pelibatan rakyat dalam pembangunan.
 UU Desa mengamanatkan bahwa pembangunan desa terdiri dari Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawaan Perdesaan. Skema pembangunan berbasis swakelola menjadi penting bila dikaitkan spirit UU desa tentang pemberian kuasa dan wewenang kepada desa untuk mengelola pembangunan desa secara otonom.
AFPM dan HAPMI merupakan induk organisasi yang beranggotakan pendamping pemberdayaan masyarakat desa yang berpengalaman dalam mendampingi program pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan dengan pendekatan partisipatif dan swakelola.

Sebagai rekomendasi dalam hal desain pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, AFPM dan HAPMI menyediakan rancangan skenario program kawasan perdesaan swakelola. AFPM dan HAPMI siap menjadi mitra Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dalam penyusunan desain pembangunan desa dan  pembangunan kawasan perdesaan berbasis swakelola.

INTISARI MODEL PENDAMPINGAN DAN USULAN RAPERMEN/ KEBIJAKAN TERKAIT DENGAN UU DESA



Saat ini regulasi pendukung implementasi UU Desa baru sebatas PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang Keuangan Desa. Kedua PP tersebut belum mampu menerjemahkan persoalan penting yang ada di dalam UU Desa. Problem ini mendesak untuk segera dipecahkan, mengingat pelaksanaan UU Desa yang akan dimulai pada tahun 2015.
Beberapa persoalan penting tersebut antara lain Pembangunan Desa, Pembangunan Kawasan Perdesaan, Pendampingan dan pemberdayaan Masyarakat, Musyawarah Desa, Kerjasama Desa, Pembentukan BUMDes dan Sistem Informasi Desa.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah terkait alokasi dana desa. Anggaran alokasi dana desa yang bersumber dari APBN saat ini masih jauh dari harapan. Amanat UU Desa menyebutkan bahwa besaran alokasi dana desa adalah 10% dari APBN. Sebagai contoh :  Kabupaten Magelang Jawa Tengah mendapat alokasi dana desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp 50.084.231.223 , dengan jumlah desa sebanyak 345 desa, maka alokasi dana rata-rata per desa di Kabupaten Magelang sebesar Rp. 145.171.684,-. Kabupaten Magelang Jawa Tengah mendapat alokasi dana desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp 50.084.231.223,-  dengan jumlah desa sebanyak 345 desa, maka alokasi dana rata-rata per desa di Kabupaten Magelang sebesar Rp. 145.171.684,-. Kabupaten Boyolali Jawa Tengah mendapat alokasi dana desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp 35.618.485.972 , dengan jumlah desa sebanyak 262 desa, maka alokasi dana rata-rata per desa di Kabupaten Boyolali sebesar Rp. 135.948.419,-. Kabupaten Batang Jawa Tengah mendapat alokasi dana desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp 32.616.161.484 , dengan jumlah desa sebanyak 239 desa, maka alokasi dana rata-rata per desa di Kabupaten Batang sebesar Rp. 136.469.294,-.
Di dalam PP Nomor 60 tahun 2014 pasal 19 ayat 1 menyebutkan dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Sedangkan di dalam PP Nomor 43 pasal 81 ayat 2 poin a menyebutkan apabila dana desa kurang dari Rp 500.000.000,- maka akan digunakan maksimal 60% untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa. Sehingga hal tersebutbelum cukup untuk melaksanakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.
Rekomendasi kami, pemerintah melalui Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi harus segera menyusun Peraturan Menteri tentang :
1.      Pedoman Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN
2.      Pedoman Pembangunan Kawasan Perdesaan
3.      Pedoman Pendampingan dan Pemberdayaan Masyarakat
4.      Pedoman Musyawarah Desa
5.      Pedoman Pembangunan Desa
6.      Pedoman Kerjasama Desa dan pembentukan BKAD (Badan Kerja Sama Antar Desa)
7.      Pedoman Pembentukan BUMDes
8.      Pedoman Pertanggungjawaban Dana dari APBN
9.      Pedoman Sistem Informasi Desa
Tanpa adanya Peraturan Menteri tersebut diatas, maka implementasi kebijakan terkait UU Desa akan terhambat dan sulit dilaksanakan. Atau dengan kata lain, Peraturan Menteri tersebut akan mempercepat akselerasi implementasi kebijakan terkait UU Desa.


INTISARI STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS DALAM MENJALANKAN EMPAT KEWENANGAN DESA BERDASARKAN UU NOMOR 6 TAHUN 2014


LATAR BELAKANG
Pasal 2 UU Nomor 6 tahun 2014 menyebutkan adanya empat kewenangan desa, yaitu: Kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kewenangan pelaksanaan Pembangunan Desa, Kewenangan Pembinaan Kemasyarakatan Desa dan Kewenangan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dengan adanya empat kewenangan desa tersebut, desa bukan lagi hanya sebatas fungsi administratif pemerintah kabupaten/kota dan pusat dimana desa bukan sebagai subyek namun sebagai objek berbagai project pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Hal ini bisa dimaknai negara hadir melalui kehadiran desa.

Secara politik anggaran, desa harus menyusun APBDes yang mencakup program dan kegiatan sebagai penjabaran dari empat kewenangan desa. Komponen dari APBDes adalah Pendapatan Desa. Pasal 72 ayat 1 menyebutkan bahwa Pendapatan Desa bersumber dari: a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota; f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Alokasi pendapatan desa merupakan bagian dari dokumen RPJMDes. Sedangkan Peraturan Desa tentang RPJMDes dan RKPDes merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa. RPJMDes dan RKPDes merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sesuai UU nomor 6 Tahun 2014, pada bulan September – Oktober 2014 ini seharusnya seluruh desa di Indonesia telah melaksanakan penyelarasan/review RPJMDes dan RKPDes. Namun kenyataannya belum semua desa dapat melakukannya. Hal ini disebabkan belum maksimalnya fungsi pendampingan dalam peningkatan kapasitas aparatur desa dalam melaksanakan penyelarasan/review RPJMDes dan RKPDes.

Regulasi pendukung kebijakan terkait hal tersebut juga belum tersedia, artinya eksekusi/ pelaksanaan penganggarannya belum bisa dilaksanakan, dan hal ini akan menjadi masalah besar, mengingat fungsi vital RPJMDes sebagai dokumen perencanaan pembangunan desa.

Rekomendasi kami,  sebagai pengejawantahan hadirnya negara melalui desa, maka Pemerintah melalui Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi harus memberikan otoritas penuh bagi desa dalam melakukan proses perencanaan pembangunan desa, melalui penyediaan regulasi pendukung kebijakan terkait.

Terkait keterbatasan kapasitas aparatur desa dalam penyelarasan/review RPJMdes dan RKPDes, sudah selayaknya Pemerintah melalui Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi mengadakan dan mengelola pendamping desa sesuai amanat PP 43 tahun 2014.